selamat bersilaturrahmi dengan LINKAN ARA

Sabtu, 13 September 2008

AIR DALAM KAJIAN LINGKUNGAN, HUKUM, DAN FIQH


Oleh: Iza Hanifuddin*
Abstract
The water today is very emergence for life.Although the quantity
of water are always stagnan but the quality of water are always in bad
condition day by day. This situation will influence the situation of community
and social. Because of water, its may be brings us to the war. So, this paper
explains us about the water in many studies for bringing us to the good
way in understanding about water and give us the commitment
to care the water for our future life, especially for our sons.
One drop of water is really for our life.
If we want the better one,
so care the water.

Kata Kunci: Air, lingkungan, dehydrasi, Musâqât, ahkâm al-Miyâh


A. Pendahuluan
Beberapa bulan setelah Hari Air Sedunia tanggal 22 Maret 2004 diperingati, rakyat Indonesia mendapat hadiah yang cukup membuat shock beberapa kalangan dengan dikeluarkannya Undang-Undang Sumberdaya Air atau yang lebih dikenal dengan UU SDA Nomor 7 Tahun 2004. Pada bulan Juli 2005 pengajuan uji material (Judicial Review) atas undang-undang tersebut pun ditolak oleh Mahkamah Konstitusi. Undang-Undang tersebut disinyalir akan menjauhkan rakyat dari air bersih dan murah karena adanya peluang privatisasi air oleh perusahaan. Padahal, air adalah milik bersama.
Tanggapan tentang masalah ini pun bermunculan, baik yang pro maupun yang kontra. Beberapa bulan pemberitaan mas media tentang hal ini pun tak kunjung habis-habis. Sayangnya, dari sekian banyak tanggapan tentang air ini, nampak tidak ada satu tulisan pun--sejauh bacaan penulis—yang meng-elaborasikan hal tersebut dalam konteks atau perspektif Hukum Islam.
Untuk itu, kendati sudah sedikit atau mungkin jauh terlambat, tulisan ini mencoba untuk turut ambil bagian dalam berwacana tentang persoalan tersebut meski dalam tataran hantaran menuju ke persoalan air secara lebih komplek dan detail.
Tulisan ini akan mengetengah-kan beberapa penglihatan tentang air dalam beberapa perspektif yang pastinya tidak terkait langsung dengan persoalan undang-undang tersebut. Sebab, penulis yakin untuk menuju ke arah tersebut perlu penjelasan awal tentang perspektif yang hendak ditulis ini sebagai modal awal untuk bersikap lebih kritis.
A. Air dalam Kajian Lingkungan
Bukan hal baru jika air mem-punyai arti yang begitu penting dalam kehidupan. Tidak ada satu kehidupan pun yang dapat berta-han tanpa tersedianya air yang cukup. Dalam tubuh manusia, air berperan besar sebagai zat pembentuk tubuh. 73 % tubuh manusia adalah zat air itu sendiri. Jika tubuh seseorang tidak cukup mendapatkan air, atau kehilangan air sekitar 5 % dari berat badan, dalam Ilmu Kedokteran sudah dianggap berbahaya bagi kehidup-annya, atau diistilahkan oleh Dr. Azrul Azwar (1993: 32) dengan dehydrasi berat. Oleh karena itu, setelah melihat arti pentingnya air bagi kehidupan manusia, Hylkama berani memastikan bahwa kebutuh-an air yang paling minim bagi manusia setiap hari adalah 2 – 4 liter, termasuk air untuk memasak makanan (William W. Murdoch, 1971: 136).
Sementara itu, manusia bersama hewan, baik secara langsung atau tidak langsung telah menggan-tungkan hidupnya pada tumbuhan sebagai makanan sehari-hari. Dalam pengembangan materi diri, ternyata tumbuhan juga memerlukan air sebesar 600 x 1012 Kg pertahun, atau sekitar 600 KM3 . Berarti, ini sema dengan satu persen total air yang teruapkan ke udara dari danau, sungai, tanah-tanah basah, dan air yang menempel di permukaan dedaunan. Samudra sendiri menurutnya menyimpan lebih dari 95 % air dunia. Hanya saja, air tersebut tidak dapat langsung diminum dan dimanfaatkan untuk pertanian, karena mengandung garam. Namun, kehidupan di planet ini juga tidak mungkin dapat berlangsung tanpa adanya air garam tersebut (William W. Mur-doch, 1971: 135). Dalam penje-lasan lebih lanjut disebutkan, bahwa zat garam ini dapat mengatur kepadatan (densitas) dan kebekuan (freeze) air samudra relatif tetap pada –2 0C sehingga ia berfungsi sebagai pengatur temperatur suhu bumi yang secara tidak langsung berguna bagi kehidupan tumbuhan dan binatang (William W. Murdoch, 1971: 138).
Pembahasan tentang air di atas baru dilihat dari sisi pentingnya air bagi kelangsungan hidup populasi dunia, belum lagi dari sisi kepen-tingannya bagi aktivitas kehidupan sehari-hari populasi tersebut yang juga selalu membutuhkan air. Industri, pertanian, rumah tangga, dan perhubungan adalah sektor-sektor yang paling berkepentingan dengan air, baik secara konsumtif ataupun secara produktif.
Oleh karena itu, upaya maksimal tetap harus diusahakan agar kebutuhan dunia akan air terus terpenuhi. Upaya ini tentunya diberangkatkan dari diri kita sendiri dengan membangkitkan kesadaran yang mendalam dan penuh tanggung jawab dalam melihat totalitas Lingkungan Hidup sekitar kita seraya menghayati bahwa “Kita butuh mereka !”. begitulah Otto Soemarwoto (1987: 44) dengan semangat argumentatifnya menga-takan, bahwa sejarah telah menun-jukkan, bumi kita tetap dapat hidup tanpa ada manusia dahulunya, sedangkan manusia tidak mungkin dapat hidup sendirian tanpa bumi .
Dalam kajian Filasafat Yunani dan sebagainya, air telah dijadikan obyek pemikiran yang mengawali berbagai kajian lingkungan saat ini. Aristoteles (350 SM) mengatakan, bahwa alam ini terdiri dari empat unsur, yaitu tanah, api, udara, dan air. Dalam peradaban Cina lama setelah Lao-Tze (580 SM) dikenal lima unsur pembentuk alam, yaitu kayu, logam, api, tanah, dan air. Di berbagai tempat lahirnya peradaban tua, seperti Mesopotamia, Cina, dan Mesir banyak literatur yang ditemukan menyebutkan anggapan para penduduknya, bahwa air merupakan bahan dasar segala yang hidup (William W. Murdoch, 1971: 135). Dari sini diketahui bahwa air selalu disebut dalam kajian kuno. Hal ini berpengertian bahwa secara Antropologis, air itu penting dan dipentingkan dalam kehidupan mereka.
Namun, dari sekian banyak pendapat dan pandangan mengenai air, kemudian dicoba untuk melihat kondisinya di bumi, ternyata total air yang tersedia adalah tetap, tidak dapat ditingkatkan dan tidak dapat pula dikurangi. Emil Salim (1986: 193) berani menyebut ada 1,4 Milyar KM 3 jumlah atau volume total air bumi dengan rincian sebagai berikut: Air laut ada 97,3 %, air tawar 2,7 % dan baru 0,79 % yang terjangkau oleh kita untuk dimanfaatkan, lapisan es dan Glacir 77,3 %, air tanah dan resapan 22,4 %, air danau dan rawa-rawa 0,35 %, uap air di atmosfir 0,04 %, dan 0,01 % berupa air sungai. Lalu, akankah air yang tetap ini tetap pula mampu memberikan kehidupan ? Jawabnya ada pada jiwa dan semangat tanggung jawab lingkungan dalam diri kita.
Dari totalitas jumlah air di atas, secara ekologis ia akan membentuk suatu ekosistem dengan kehidupan lainya di alam ini. Hal ini berarti, dalam kacamata Lingkungan Hidup, air dengan daya dukungnya berinteraksi dan berkait bersama makhluk hidup lainnya membentuk satu sistem kehidupan yang dicirikan oleh berlangsungnya sua-tu pertukaran dan transformasi energi di antara berbagai komponen dalam sistem itu sendiri, atau dapat juga dengan sistem lain di luarnya ( M. Bahri Ghazali, 1996: 9).
Dengan memahami ekosistem air ini akan diketahui, bahwa ternyata di bumi ini terdapat suatu jaringan yang sangat luas dari keseluruhan peredaran air. Apabila ada suatu bahan (kimiawi) dibuang dalam suatu sistem air di suatu tempat, maka ia akan tiba di tempat lain melalui berbagai kemungkinan. Kemungkinan ini bisa muncul karena dalam suatu ekosistem air terdapat suatu siklus hidrologi (Hydrological Cycle) (Slamet Ryadi, 1984: 29). Maksudnya, air yang sudah terkon-taminasi oleh bahan kimiawi tersebut bergerak dan berproses sesuai urutan siklus melalui penguapan (evaporasi) ke atmosfir bumi, pembentukan awan (kondensasi), jatuhnya air ke permukaan bumi dalam bentuk hujan (presipitasi), dan mengalirnya air tersebut pada permukaan bumi dan di dalam tanah untuk kemudian menjadi uap lagi. Demikian Dr. Azrul Azwar (1993: 32-33) memberikan gambaran singkatnya.
Apabila salah dari mata rantai siklus tersebut terganggu atau terputus, keseluruhan ekosistem air akan terganggu juga. Kualitas air hujan yang turun sangat ditentukan oleh kualitas air permukaan tanah yang diuapkan, begitu pula selanjutnya kualitas air dalam tanah. Apabila salah satunya tercemar, berarti ada suatu gangguan dalam siklus air tersebut, sehingga berpengaruh besar terhadap keseluruhan ekosistem air. Bila gangguan yang berupa pencemaran ini tidak segera diatasi, bisa terjadi ‘kiamat air” karena terputusnya siklus satu dengan lainnya dalam ekosistem air tersebut yang barangkali sudah sangat sulit lagi ditangani, kalau tidak dikatakan tidak mungkin.
Kualitas air di suatu tempat lebih banyak dipengaruhi oleh perilaku dan cara pandang kita terhadap air. Perilaku tak bertanggung jawab dan sikap masa bodoh akan membawa kondisi air tambah terpuruk dalam pencema-ran. Perilaku ini berkonsekuensi terhadap penggunaan air tanpa memperhitungkan dampaknya bagi lingkungan, sehingga terkesan asal pakai. Barangkali, kebiasaan kita di Indonesia ini telah menunjukkan salah satu dari sekian perilaku yang tidak bertanggung jawab dan masa bodoh tersebut. Sungai-sungai di Indonesia sudah sejak dulu hingga sekarang selain dipakai untuk keperluan irigasi, keperluan air minum, dan kebutuhan sehari-hari, pada saat yang bersamaan dipakai juga sebagai tempat pembuangan kotoran manusia dan limbah rumah tangga, bahkan industri. Hal ini tampak menyatu erat dengan pandangan masyarakat yang menempatkan rumah-rumah mere-ka di pinggiran sungai, dan sungai pun diposisikan di belakang rumah sehingga mempermudah dalam pembuangan air comberan (MUI, 1993: 19). Tentu, penyakit potensial akan menjadikan ini sebagai sarana bersarang dan penularan.
Sedang cara pandang yang keliru terhadap air adalah cara pandang konsumtif. Hal ini dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa air terlihat melimpah di mana-mana, sehingga Emil Salim (1986: 187) melihat ada suatu pandangan masyarakat yang mengatakan bahwa air itu sumber alam yang tak terbatas dan sumber yang bebas biaya. Maka, terjadilah eksploitasi air yang berlebihan dan cenderung tidak mengenal hemat air. Oleh karena itu, untuk mengendalikan pandangan kon-sumtif terhadap air ini, Otto Soemarwoto (1987: 52-53) menyarankan pemanfaatan air seca-ra rasional. Cara yang disarankan adalah, selain tidak memandang air sebagai semata-mata sumberdaya milik umum, juga memanfaatkan air sesuai batas daya dukungnya untuk berregenerasi atau berasimi-lasi. Selebihnya, apakah air itu hendak diperun-tukkan untuk suatu sektor usaha tertentu atau digunakan secara simultan (satu air untuk banyak sektor) tidak apa-apa, asal sesuai batas daya dukung tersebut, sehingga tidak menggang-gu atau bahkan merusak sama sekali peruntukan air itu sendiri.
Selama ini, peruntukan air lebih mengarah ke hal yang bersifat ekonomis, yaitu untuk produksi (perikanan, pertanian, peternakan, dan perindustrian) dan konsumsi (minum dan kebutuhan rumah tangga) (Otto Soemarwoto, 1987: 52). Peruntukan semacam ini dalam pandangan penulis terkesan bernuansa materialis, sehingga nantinya akan menimbulkan suatu sikap egoisme yang cenderung mengedepankan cukupnya kebu-tuhan pribadi terhadap air dengan mengabaikan hak dan kebutuhan yang sama pihak lain terhadap air. Sikap egois ini pada akhirnya juga akan menyia-nyiakan pemanfaatan air secara sekehendaknya sendiri dengan tidak mau tahu hasil pencemaran yang diperbuatnya, yang penting kebutuhan air untuk dirinya sendiri sudah tercukupi. Pandangan ini tentunya untuk menyikapi langkah selanjutnya terhadap sistem peruntukan yang terlanjur mengakar dalam masyarakat.
Terlihat oleh kita, para petani seakan tidak mau berpikir, bahwa pupuk kimia dan insektisida yang mereka gunakan, pada akhirnya akan mencemari tanah dan air. Yang penting baginya. Hasil panen bagus. Para nelayan tak mau tahu bahwa peledak dan obat pemusnah ikan yang digunakannya merusak ekosistem air dan kehidupan di dalamnya. Yang penting baginya hasil tangkapan hari itu melimpah. Para pengusaha industri terkesan menutup mata, bahwa limbah pabrik yang dialirkannya ke sungai-sungai sekitar akan mencemari air yang dibutuhkan penduduk dan merusak kualitas air sumur mereka, baginya yang penting, roda mesin pabrik tetap berjalan, produksi melimpah, uang berjaya. Tak ketinggalan, ibu-ibu rumah tangga dan keluarganya pun menghabur-hamburkan deterjen untuk mencuci dan sebagainya dengan tidak pernah terlintas akibat buruk bagi lingkungan hidupnya, asal suami senang dan bertambah sayang karena pakaian-pakaiannya bersih dan rapi semua.
Memang, peruntukan air secara demikian, hasilnya dapat kita rasakan pula, di antaranya, padi lezat yang kita makan, baju bersih yang kita pakai, ikan besar yang kita jadikan lauk, dan sebagainya. Artinya, hasil tersebut berguna dan bermanfaat untuk kepentingan umum juga. Dan ini suatu hal yang baik. Akan tetapi, hendaknya air tidak lagi dipandang secara ekonomis belaka. Sebab, sebesar apa pun hasil yang diperoleh dari pemanfaatan air dengan mengor-bankan ekosistem air itu sendiri akan berakibat fatal bagi kesejahteraan hidup bersama dan anak cucu kemudian.
Teori kesejahteraan layak dikemukakan dalam kasus ini. Artinya, setiap pergerakan air yang ada hubungannya dengan manusia, haruslah bernilai sebesar-besar bagi kemanfaatan kesejahteraan manusia dalam hidup bersama dan kebersamaan hidup, baik itu cara pemakaian, penyediaan, pembuang-an, pemeliharaan aliran air alamnya, atau yang disebut dengan istilah Siklus Kontak Air (Azrul Azwar, 19: 33). Dengan tetap memperhatikan kesehatan dan standar kualitas air dari sisi persyaratan fisis, kimiawi, biologis, dan radiologisnya (Slamet Ryadi, 19: 12).
Teori ini tentunya lebih mengedepankan pentingnya air bagi bersama. Setiap tetes air tidak boleh disia-siakan dan ditelan-tarkan. “Penggunaaannya harus memberikan manfaat demi peningkatan kesejahteraan manu-sia”. Bagitulah amanat mantan Presiden Suharto dalam peringan Hari Pangan se-Dunia tahun 1994 di Nusa Tenggara Barat (Abdul Rahim, 1996: 52). Bisa jadi, tetesan air tersebut merupakan bagian dari jatah kesejahteraan hidup orang lain. Oleh karena itu, ia harus dipelihara dengan baik, seakan kita sedang memperhatikan dan memelihara kehidupan keluarga kita sendiri. Jangan sampai seperti yang digambarkan DEPUTI II Badan Pengendali Dampak lingkungan (BAPEDAL), Nabiel Makarim, M.P.A., M.S.M. bahwa dengan kekayaannya, orang kaya mampu medapatkan air dengan begitu mudah melalui PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum), sedangkan orang miskin harus membeli air “pikulan”, sehingga orang miskin harus pula membeli air lebih mahal dari orang kaya. Itu pun kalau ia mempunyai uang atau mampu membeli (Lihat, Tahun 2000, Jawa-Bali ‘Kerontang’, Republika, (Jakarta), 7 Mei 1998, h. 9., Jawa Terancam Defisit Air, Republika, (Jakarta), 24 September 1998, h. 9).
Jika demikian adanya, masih mampukah air kita di masa yang akan datang tetap menjadi bahan dasar bagi kehidupan, atau minimal memberi kesejahteraan hidup bagi kita bersama ?
B. Air dalam Kajian Hukum Lingkungan
Dalam pembagian Hukum Klasik dikenal dua lapangan hukum, yaitu Hukum Publik, meliputi Hukum Tata Negara, Hukum Administrasi Negara, Hukum Pidana, dan Hukum Internasional. Sedang lapangan hukum kedua adalah hukum Privat (perdata) yang meliputi Hukum Dagang dan Hukum Antartata Hukum (Intergentil). Sementara, Hukum Adat dalam Pandangan RM. Gatot P. Soemartono (1996: 24) tidak merupakan lapangan (bagian) hukum tersendiri, karena sudah meliputi kedua lapangan hukum di atas.
Lebih lanjut, RM. Gatot P. Soemartono (1996: 24) juga menunjukkan keyakinannya bahwa istilah “Hukum Lingkungan” yang sekarang ini ramai dibicarakan, merupakan konsepsi yang relatif masih baru dalam dunia keilmuan, khususnya Ilmu Hukum. Ia lahir bersamaan dengan tumbuhnya pengertian dan kesadaran untuk melindungi dan memelihara Lingkungan Hidup. Kesadaran ini dituangkan dalam bentuk peraturan hukum yang berorientasi pada kepentingan alam (Natures Interest Oriented Law) atau dalam penjelasan Danusaputro yang dikutip oleh Gatot P. Soemartono (1996: 24), peraturan yang mengharuskan adanya penjagaan terhadap kelestarian alam.
Air merupakan salah satu dari sekian banyak subsistem atau bahkan sistem yang berpengaruh besar terhadap kehidupan di alam ini. Berarti, ia merupakan satu aspek yang integral dengan Lingkungan Hidup. Oleh karena itu, air pun tidak boleh luput dari kesadaran hukum manusia terhadap lingkungannya, yaitu harus pula dijaga dan dilestarikan.
Apabila Hukum Lingkungan ini dikaitkan dengan peraturan perudangan-undangan, khususnya aspek air, masih menurut Gatot P. Soemartono (1996: 25), panjang atau pendeknya sejarah tentang peratur-an tersebut sangat tergantung dari apa yang menurutnya dipandang sebagai ‘Environmental Concern’. Sebagai contoh, ada-nya peraturan zaman Romawi tentang jembatan air (Aqueducts) yang bisa dijadikan bukti adanya ketentuan teknik sanitasi dan perlindungan lingkungan (Koesnadi Hardja-soemantri, 1994: 30-31).
Di Indonesia sendiri, melalui prasasti Jurunan tahun 876 M diketahui adanya organisasi yang berhubungan dengan lingkungan (air) yang disebut ‘Tuhagusali’. Organisasi ini terdiri dari petugas-petugas pengendali pencemaran yang ditimbulkan oleh pertukangan logam, dan menariknya pajak bila diketahui terjadi pencemaran (E. Gumbira Said, 1987: 63-64).
Masyarakat adat Maluku mempunyai sebuah ajaran yang disebut ‘Sasi’, yaitu ajaran adat yang melarang perusakan komponen Lingkungan Hidup tertentu, seperti hutan, kawasan penangkapan ikan, mangrove, terumbu karang, dan bagian alam lainnya yang dapat memberi manfaat bagi manusia (Lihat, Untuk Memelihara Ling-kungan Hidup Hak Masyarakat Adat Perlu Dikembalikan, Republika, (Jakarta), 16 Oktober 1998, h. 5). Mengomentari ajaran ini, Emil Salim berkata, bahwa sebelum adanya intervensi kekuasaan, kelestarian lingkungan di pulau itu cukup terjaga, sebab masyarakat adat lebih begitu akrab dengan lingkungannya.
Suku Baduy hingga saat ini dicatat dalam sejarah sebagai suku yang terpinggirkan oleh kekuasaan Islam di bawah Sultan Hasanuddin Banten. Paling tidak, hal ini ditulis oleh sejarahwan Belanda, Pleyte (1909), Yacob, dan Meijer (1891) (Lihat, Memahami Falsafah “Manusia Air”, Singgalang, (Padang), 4 Oktober 1989, h. 8). Belakangan ini, melalui penelitian seorang Guru besar Antropologi yang menggeluti adat masyarakat Baduy, Prof. Kusnaka Adimiharja, ditemukan, bahwa pada dasarnya, masyarakat Baduy merupakan ‘Manusia Air’, karena kebera-daannya di belantara Gunung Kendeng untuk menjaga ekosistem air, bukan karena tekanan Islam. Ekosistem ini perlu dijaga, sebab di Banten terdapat sungai Ciujung yang yang berfungsi sebagai jalan transportasi utama untuk meng-angkut hasil pertanian dari pedalaman ke pelabuhan Banten, suatu pelabuhan terpenting waktu itu. Oleh karena itu, lanjut Kusnaka, kelestarian aliran air perlu dipertahankan dengan menjaga kelestarian hulu sungai yang berasal dari daerah Cibeo, Kanekes.
Sampai sekarang ini, dalam masyarakat Baduy dikenal banyak sekali “Pikukuh” (ketentuan mutlak) yang berupa ‘Teu Wasa’ (tabu). Prof. Dr. Judistira K. Garna yang juga Guru besar Antropologi Universitas Pajajaran Bandung, mencontohkan teu wasa tersebut. Bagi masyarakat Baduy teu wasa untuk meng-ubah bentuk jalan air (membuat kolam atau irigasi), mengubah bentuk tanah (menggali, meratakan, mencangkul), mengubah jadwal tanam, menggunakan teknologi kimia, membuat sumur, mandi pakai sabun, dan menggosok gigi dengan pasta gigi di sungai.
Contoh-contoh di atas meru-pakan gambaran antropologis, bahwa pondasi pengaturan Ling-kungan Hidup, khususnya aspek air telah ditancapkan sejak semula. Meskipun gambaran kesadaran hukum di atas masih terlalu bersifat sektoral (kewilayahan), dan hanya bertumpu pada aspek tertentu (air saja) dari keseluruhan aspek Lingkungan Hidup, namun ia tetap mempunyai masukan yang berarti bagi penambahan instrumen Hu-kum Lingkungan yang berkembang saat ini.
Hukum Lingkungan yang berkembang dan dinilai bersifat global pun, tentu tidak bisa mengabaikan begitu saja peristiwa-peristiwa terdahulu yang meru-pakan embrio dikukuhkan Hukum Lingkungan itu sendiri. Bisa dicontohkan, betapa besarnya peran Rachel Carson dalam membang-kitkan kesadaran lingkungan melalui buku The Silent Spring-nya, sehingga mampu memaksa diadakannya Konferensi Stockholm yang terkenal itu dan konferensi-konferensi berikut yang meng-iringinya.
Peristiwa yang tak kalah hebatnya, khususnya mengenai air dan lingkungannya adalah timbulnya ‘Gerakan Sanitasi’ di Inggris yang turut mengontrol ledakan Revolusi Industri abad 19, sehingga berhasil pula memaksa dikeluarkannya ketentuan-keten-tuan mengenai pembuangan dari tinja dan sampah (RM. Gatot P. Soemartono, 1996: 26).
Terlepas dari kontroversi dan polemik antara Leenen dan J. Polak yang dilatari oleh pandangan apakah Lingkungan Hidup itu sebagai Subyek Hukum atau bukan (Keterangan lebih lanjut dan detail tentang polemik Leenan-Polak ini bisa dirujuk pula pada tulisan RM. Gatot P. Soemartono, h. 47-49), dan bukan pula maksud Penulis untuk cuci tangan dari per-masalahan ini, yang jelas Hukum Lingkungan saat ini sudah cukup eksis sejalan dengan makin besar dan meningkatnya permasalahan ling-kungan zaman “Post Modern” ini.
Eksisnya Hukum Lingkungan dalam masyarakat ditunjukkan oleh adanya kesadaran masyarakat untuk menjaga dan melestarikan lingkungannya. Hal ini dibuktikan pula oleh adanya organisasi-organisasi pecinta lingkungan yang turut mengontrol adanya “Keja-hatan Lingkungan”, baik internasional maupun nasional, seperti Green Peace, Friends of The Earth, Marine Conservation Society, WALHI (Wahana Lingkungan Hidup), dan sebagainya. Gerakan cinta lingkungan pun turut mewarnai iklim ini, ada gerakan Hemat Air, Gerakan Prokasih (Program Kali Bersih), hingga bermuara pada Gerakan Disiplin Nasional. Undang-undang atau Ordonansi lama pun kini mulai banyak ditelaah ulang oleh para pakar di bidangnya, tentunya juga untuk dijadikan referensi hukum dan perundangan lingkungan yang ada sekarang ini. Undang-Undang Nomor 4/1982 dan Nomor 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah merupakan contoh dan bukti akhir tentang eksisnya Hukum Lingkungan, khususnya di Indonesia. Meskipun demikian, dalam kacamata Emil Salim, perangkat hukum tersebut masih belum sepenuhnya menghayati penglihatan lingkungan (Emil Salim, 1986: 35).
Hukum Lingkungan yang terwujud dalam peraturan perundang-udangan, khususnya tentang air, pada dasarnya Indonesia tidak terlalu ketinggalan bila dibandingkan dengan Amerika. Hal ini bisa dibuktikan dengan adanya informasi perkembangan Hukum Air Federal di Amerika yang menyebutkan, bahwa undang-undang pertama yang melatari ditetapkan Undang-undang Pe-ngendalian Polusi Air 1972 adalah Undang-undang tentang Polusi Bahan-bahan Minyak tahun 1924, yang diikuti oleh ketetapan Standar Air Minum Sehat untuk Umum tahun 1962, Undang-undang Kualitas Air tahun 1965, Undang-undang Restorasi Air Bersih tahun 1966, dan terakhir Undang-undang Air Minum Bersih tahun 1974 (N.H. Greenwood and J.M.B. Edwards, 1979: 252).
Di Indonesia, tahun 1925 sudah ada peraturan tentang Penanggulangan Pencemaran Laut. Bedanya, di Amerika, Hukum Airnya tertuang dalam bentuk Undang-undang, sehingga kekuatan hukumnya lebih solid. Sedang di Indonesia, baru tersirat dalam ‘Peraturan Pelabuhan’ (Daud Silalahi, 1996: 21). Namun demikian, minimal, Menteri Kesehatan RI telah menetapkan berbagai peraturan tentang air dari sisi kesehatan, seperti Peraturan Nomor 01/BIRHUKMAS/I/1975 tentang Syarat dan Pengawasan Kualitas Air Minum, Peraturan Nomor 172/Menkes/Per/XIII/1977 tentang Syarat-syarat dan Pengawasan Kualitas Air Kolam Renang, Peraturan Nomor 173/Men-kes/Per/VIII/1977 tentang Penga-wasan Pencemaran Air dari Badan Air untuk berbagai Kegunaan yang Berhubungan dengan Kesehatan (Slamet Ryadi, 1984: 106-122). Baru pada tahun 1990 dikeluarkan PP. Nomor 20/1990 tentang Pengen-dalian Pencemaran Air yang diikuti oleh Keputusan-keputusan Menteri Lingkungan Hidup tahun 1995 tentang Baku Mutu Limbah Cair bagi Berbagai Kegiatan. Secara khusus, pemerintah mengeluarkan pula peraturan tentang sungai yang tertuang dalam PP. Nomor 35 Tahun 1991 dan dipertegas lagi dengan adanya Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 63 /PRT/1993 tentang Garis Sem-padan Sungai (Bantaran Sungai).
Banyaknya peraturan di atas ternyata tidak berarti permasalahan air dan pencemaran dapat segara diatasi. Hal ini dibuktikan oleh adanya data PEMDA DKI Jakarta yang menyebutkan bahwa 99 % sumur dangkal di daerah tersebut sudah tercemari oleh zat kimia dan bakteri Coli (bakteri dari tinja). Kualitas air pantai utara Jakarta dalam radius 1 KM juga sudah tercemari oleh bahan kimia berat sejenis Timbal dan limbah rumah tangga dari deterjen (Lihat, Masalah Air di DKI Makin Serius, Republika, (Jakarta), 5 Janurari 1998, h. 7).
Apakah ini karena kesalahan perencanaan pembangunan, pemi-lihan teknologi yang kurang tepat, atau pemanfaatan fasilitas alam secara sembarangan. Yang jelas, Hukum Pidana Lingkungan nampaknya sudah waktunya mengambil peran untuk kemudian dilaksanakan secara tegas. Diper-lukannya pendekatan Hukum Pidana Lingkungan ini karena sudah begitu akutnya permasalahan pencemaran lingkungan, sehingga perbuatan ini sudah dinilai tercela dan pelakunya, baik perorangan atau Badan Hukum perlu mendapat sanksi pidana, karena merugikan masyarakat (M. Rasyid Ariman, 1988: 16, W. Friedman, 1972: 91). Apalagi, Lingkungan Hidup merupakan sumber kebutuhan manusia dalam melangsungkan kehidupannya.
Dasar pijakan pendekatan Hukum Pidana Lingkungan ini dapat dicermati dalam Undang-undang Nomor 4/1982 Bab VII Pasal 22 yang menyebutkan adanya delik pencemaran atau perusakan Lingkungan Hidup dengan sanksi pidana sekaligus sanksi perdata. Sanksi keperdataan ini, sebagai-mana tertulis dalam pasal 20 adalah pemberian ganti rugi kepada pihak penderita dan biaya pemulihan Lingkungan Hidup kepada negara (Lihat, UU No. 4/1982 Tentang Ketentuan Pokok pengelolaan Ling-kungan Hidup, Surabaya: Pustaka Tinta Mas, t.th., h. 13 – 14). Penerapan dua sanksi sekaligus ini dalam pandangan M. Rasyid Ariman (1988: 23) merupakan perkembangan baru dalam Hukum Pidana.
Untuk sekarang ini, ketegasan pelaksanaan Hukum Pidana Lingkungan sudah sangat dinanti-nantikan, dan di masa yang akan datang, dengan mulai langkanya air, perlu dipikirkan pula secara lebih dini langkah-langkah meng-atasi problema pemilikan dan peruntukan air, sehingga tidak terjadi perebutan air di kemudian hari. Untuk itu, perubahan dan peningkatan Peraturan-peraturan Pemerintah menjadi Undang-undang Air, patut dijadikan pertimbangan.
C. Air dalam Kajian Fiqh
Tulisan ini berangkat dari kesadaran religius, bahwa kacamata agama sebenarnya juga dapat digunakan untuk melihat atau bahkan mengobati buramnya masa depan lingkungan yang ditandai oleh berbagai macam kerusakan.
Jauh sebelum problema ling-kungan ini diperbincangkan, Alquran telah memberikan suatu peringatan akan bahaya lingkungan yang ditimbulkan oleh peran aktivitas manusia. “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”. Bukan sekedar peringatan, lebih jauh, isi kandungan Alquran juga mema-parkan nilai kesadaran yang kentara sekali berpihak kepada lingkungan. Perhatikan Alquran Surat Al-A’râf Ayat 56 dan surat Al-Qasas Ayat 77. Oleh karena itu, wajarlah apabila kemudian UNESCO (United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization) tahun 1992 menetapkan pengajaran agama dalam menunjang pembangunan berkelanjutan (Lihat, Melindungi Bumi dengan Agama dan Tradisi, Republika, (Jakarta), 7 Nopember 1997, h. 16), meskipun para ilmuwan sendiri kadangkala atau bahkan sering mengabaikan (etika) keagamaan ini sebagai suatu pendekatan, karena dinilainya kurang relevan dengan Metodologi Ilmu Pengetahuan yang bersifat obyektif (Rakhmat Bowo Suharto, 1994: 56).
Berangkat dari tulisan di atas, akan dicoba dipaparkan telaahan Islam tentang Lingkungan, khusus-nya aspek air dengan melihat perangkat Fiqhnya. Acuan Fiqh ini sangat penting dikemukakan, mengingat selain ia merupakan hasil pemahaman ijtihadiyah ulama terhadap agamanya, ia secara implementatif juga dijadikan acuan perilaku hidup keagamaan sehari-hari, seperti ritualitas peribadatan, hukum halal-haram, dan seba-gainya.
Dalam skala umum, Ali Haidar secara terburu-buru mengatakan bahwa belum banyaknya ulama yang membahas persoalan ling-kungan saat ini, lebih disebabkan oleh tiadanya perangkat ilmu yang berupa referensi teks. “Dalam kitab-kitab kuning yang mereka pelajari belum ada masalah Lingkungan Hidup”, tegasnya (Lihat, Melindungi Bumi…h. 16).
Terlepas dari pernyataan Ali Haidar di atas, benarkah ulama kini keting-galan dalam merespons persoalan Lingkungan Hidup ? dan benarkah Fiqh-fiqh yang tertulis dalam berbagai kitab kuning juga tidak “bermuatan” masalah Ling-kungan Hidup ? KH. Ma’ruf Amin, Rais Syuriah PBNU (Pengurus Besar Nahdatul Ulama), menolak pernyataan tersebut, NU, menurut-nya, telah membahas tuntas persoalan tersebut melalui Forum Bahsul-Masâil saat Muktamar NU di Cipasung Jawa Barat tahun 1994, dan ulamanya sepakat menem-patkan persoalan Lingkungan Hidup bukan hanya sebagai persoalan sosial-ekonomi, tetapi sudah masuk persoalan dîniyyah atau keagamaan (Lihat, Republika, (Jakarta), 7 Nopember 1997, Lingkungan Hidup dalam Pandangan Ulama, h. 16. Mengenai hal ini baca pula keputusan hasil Bahsul Masail tersebut yang terangkum dalam “Pandangan Tanggung Jawab Nahdatul Ulama terhadap Lingkungan Hidup”. Di antara isinya adalah peningkatan kualitas hidup umat tak cukup hanya dengan mem-bangun aspek manusianya tanpa aspek alam lingkungannya, tindakan pencemaran lingkungan dapat dikatagorikan sebagai “Mafâsid” (kerusakan) dan pelakunya dinilai telah melanggar perbuatan kriminal (jinayah) dengan katagori Jarîmah Ta’zir dalam sanksinya (Lihat, Majalah An-Nadha’ir Edisi 12/Tahun III/XII/1997, h. 16 – 24). Dalam kaitan air dan Fiqh, Prof. Dr. KH. Ibrahim Hosen, Rektor Institut Ilmu Alquran Jakarta menjelaskan, kendati tidak terlibat langsung dalam persoalan Lingkungan Hidup, Fiqh telah membahas masalah pengelolaan limbah. Beliau mencontohkan hal tersebut dengan menganalogkan pendapat Ibnu Hajar Al-Khaitami (Pen. Al-Haitami) dalam kitab Tsufah, bahwa air najis bisa diolah menjadi tidak najis dengan cara menambah bahan kimia tertentu. Hasil analog tersebut dalam pandangan Ibrahim Husein adalah, air limbah yang awalnya najis bila diolah dengan campuran bahan kimia tertentu, ia dapat menjadi bersih dan bisa dimanfaatkan oleh manusia (Ketika Penulis mengonfirmasikan lebih lanjut via telepon kepada Prof. Dr. KH. Ibrahim Husein tanggal 14 Nopember 1999 tentang nama Kitab tersebut, diperoleh penjelasan bahwa Kitab termaksud yang benar berjudul “Tuhfatul- Muhtâj” bukan Tsufah sebagaimana tertulis dalam Republika. Untuk hal ini, dapatlah kiranya dilihat Abdul Hamid asy-Syarwani, Hawâsyi asy-Syarwâni alâ Tuhfatil- Muhtâj, ( tt.: Dar Sadir, tth.) dalam matan tuhfatul Muhtâj yang membahas persoalan air dan taharah). Perubahan air najis menjadi suci tersebut dalam pandangan mazhab Hanafi disebut dengan istilah istihâlah (Water recleaning) (Ibn Taimiyah dan Ibn Qayyim, 1975: 38-39).
Dari kedua pandangan ini, barangkali Ali Haidar tidak terlalu salah dalam pendapatnya bila didasarkan pada kenyataan, bahwa perbincangan mengenai Lingkung-an Hidup baru muncul dan populer tahun 1980-an. Namun, bukankah permasalahan lingkungan sendiri telah ada jauh sebelum perbin-cangan mengenai lingkungan itu dikembangkan.
Berangkat dari permasalahan lingkungan, nampaknya Ali Haidar tidak melihat secara jernih, bahwa ada peran ulama secara tidak langsung terhadap lingkungan sekitarnya waktu itu, yang diantisipasi melalui cara dan dialektika sederhana mereka lewat karya-karya besar (magnum opus)-nya. Oleh karena itu, layak kiranya untuk dicermati Bab Pembagian Air. Ihyâul-Mawât (Reklamasi Tanah), Musâqât (Irigasi), Harîm (lahan suaka/lahan lindung), Ahkâm al-Miyâh dan sebagainya dalam kitab Fiqh klasik, lalu direfleksikan dengan kondisi dan problem lingkungan saat ini. Sebetulnya, untuk hal inilah kajian mengenai air dalam fiqh dipastikan akan ditemukan secara detail. Tentunya diperlukan bab tersendiri sesuai rujukan dari beberapa kitab Fiqh yang ada.

D. Penutup
Demikian makalah ini dibuat untuk dijadikan perenungan dalam rangka secara bersama lewat wacana yang ada untuk mengembangkan konsep air secara utuh dalam kajian fiqh. Dan makalah ini tentunya merupakan hantaran menuju ke arah tersebut. Selamat berwacana !


*Penulis adalah lektor dalam mata kuliah fiqh pada STAIN Batusangkar