selamat bersilaturrahmi dengan LINKAN ARA

Sabtu, 13 September 2008

AIR DALAM KAJIAN LINGKUNGAN, HUKUM, DAN FIQH


Oleh: Iza Hanifuddin*
Abstract
The water today is very emergence for life.Although the quantity
of water are always stagnan but the quality of water are always in bad
condition day by day. This situation will influence the situation of community
and social. Because of water, its may be brings us to the war. So, this paper
explains us about the water in many studies for bringing us to the good
way in understanding about water and give us the commitment
to care the water for our future life, especially for our sons.
One drop of water is really for our life.
If we want the better one,
so care the water.

Kata Kunci: Air, lingkungan, dehydrasi, Musâqât, ahkâm al-Miyâh


A. Pendahuluan
Beberapa bulan setelah Hari Air Sedunia tanggal 22 Maret 2004 diperingati, rakyat Indonesia mendapat hadiah yang cukup membuat shock beberapa kalangan dengan dikeluarkannya Undang-Undang Sumberdaya Air atau yang lebih dikenal dengan UU SDA Nomor 7 Tahun 2004. Pada bulan Juli 2005 pengajuan uji material (Judicial Review) atas undang-undang tersebut pun ditolak oleh Mahkamah Konstitusi. Undang-Undang tersebut disinyalir akan menjauhkan rakyat dari air bersih dan murah karena adanya peluang privatisasi air oleh perusahaan. Padahal, air adalah milik bersama.
Tanggapan tentang masalah ini pun bermunculan, baik yang pro maupun yang kontra. Beberapa bulan pemberitaan mas media tentang hal ini pun tak kunjung habis-habis. Sayangnya, dari sekian banyak tanggapan tentang air ini, nampak tidak ada satu tulisan pun--sejauh bacaan penulis—yang meng-elaborasikan hal tersebut dalam konteks atau perspektif Hukum Islam.
Untuk itu, kendati sudah sedikit atau mungkin jauh terlambat, tulisan ini mencoba untuk turut ambil bagian dalam berwacana tentang persoalan tersebut meski dalam tataran hantaran menuju ke persoalan air secara lebih komplek dan detail.
Tulisan ini akan mengetengah-kan beberapa penglihatan tentang air dalam beberapa perspektif yang pastinya tidak terkait langsung dengan persoalan undang-undang tersebut. Sebab, penulis yakin untuk menuju ke arah tersebut perlu penjelasan awal tentang perspektif yang hendak ditulis ini sebagai modal awal untuk bersikap lebih kritis.
A. Air dalam Kajian Lingkungan
Bukan hal baru jika air mem-punyai arti yang begitu penting dalam kehidupan. Tidak ada satu kehidupan pun yang dapat berta-han tanpa tersedianya air yang cukup. Dalam tubuh manusia, air berperan besar sebagai zat pembentuk tubuh. 73 % tubuh manusia adalah zat air itu sendiri. Jika tubuh seseorang tidak cukup mendapatkan air, atau kehilangan air sekitar 5 % dari berat badan, dalam Ilmu Kedokteran sudah dianggap berbahaya bagi kehidup-annya, atau diistilahkan oleh Dr. Azrul Azwar (1993: 32) dengan dehydrasi berat. Oleh karena itu, setelah melihat arti pentingnya air bagi kehidupan manusia, Hylkama berani memastikan bahwa kebutuh-an air yang paling minim bagi manusia setiap hari adalah 2 – 4 liter, termasuk air untuk memasak makanan (William W. Murdoch, 1971: 136).
Sementara itu, manusia bersama hewan, baik secara langsung atau tidak langsung telah menggan-tungkan hidupnya pada tumbuhan sebagai makanan sehari-hari. Dalam pengembangan materi diri, ternyata tumbuhan juga memerlukan air sebesar 600 x 1012 Kg pertahun, atau sekitar 600 KM3 . Berarti, ini sema dengan satu persen total air yang teruapkan ke udara dari danau, sungai, tanah-tanah basah, dan air yang menempel di permukaan dedaunan. Samudra sendiri menurutnya menyimpan lebih dari 95 % air dunia. Hanya saja, air tersebut tidak dapat langsung diminum dan dimanfaatkan untuk pertanian, karena mengandung garam. Namun, kehidupan di planet ini juga tidak mungkin dapat berlangsung tanpa adanya air garam tersebut (William W. Mur-doch, 1971: 135). Dalam penje-lasan lebih lanjut disebutkan, bahwa zat garam ini dapat mengatur kepadatan (densitas) dan kebekuan (freeze) air samudra relatif tetap pada –2 0C sehingga ia berfungsi sebagai pengatur temperatur suhu bumi yang secara tidak langsung berguna bagi kehidupan tumbuhan dan binatang (William W. Murdoch, 1971: 138).
Pembahasan tentang air di atas baru dilihat dari sisi pentingnya air bagi kelangsungan hidup populasi dunia, belum lagi dari sisi kepen-tingannya bagi aktivitas kehidupan sehari-hari populasi tersebut yang juga selalu membutuhkan air. Industri, pertanian, rumah tangga, dan perhubungan adalah sektor-sektor yang paling berkepentingan dengan air, baik secara konsumtif ataupun secara produktif.
Oleh karena itu, upaya maksimal tetap harus diusahakan agar kebutuhan dunia akan air terus terpenuhi. Upaya ini tentunya diberangkatkan dari diri kita sendiri dengan membangkitkan kesadaran yang mendalam dan penuh tanggung jawab dalam melihat totalitas Lingkungan Hidup sekitar kita seraya menghayati bahwa “Kita butuh mereka !”. begitulah Otto Soemarwoto (1987: 44) dengan semangat argumentatifnya menga-takan, bahwa sejarah telah menun-jukkan, bumi kita tetap dapat hidup tanpa ada manusia dahulunya, sedangkan manusia tidak mungkin dapat hidup sendirian tanpa bumi .
Dalam kajian Filasafat Yunani dan sebagainya, air telah dijadikan obyek pemikiran yang mengawali berbagai kajian lingkungan saat ini. Aristoteles (350 SM) mengatakan, bahwa alam ini terdiri dari empat unsur, yaitu tanah, api, udara, dan air. Dalam peradaban Cina lama setelah Lao-Tze (580 SM) dikenal lima unsur pembentuk alam, yaitu kayu, logam, api, tanah, dan air. Di berbagai tempat lahirnya peradaban tua, seperti Mesopotamia, Cina, dan Mesir banyak literatur yang ditemukan menyebutkan anggapan para penduduknya, bahwa air merupakan bahan dasar segala yang hidup (William W. Murdoch, 1971: 135). Dari sini diketahui bahwa air selalu disebut dalam kajian kuno. Hal ini berpengertian bahwa secara Antropologis, air itu penting dan dipentingkan dalam kehidupan mereka.
Namun, dari sekian banyak pendapat dan pandangan mengenai air, kemudian dicoba untuk melihat kondisinya di bumi, ternyata total air yang tersedia adalah tetap, tidak dapat ditingkatkan dan tidak dapat pula dikurangi. Emil Salim (1986: 193) berani menyebut ada 1,4 Milyar KM 3 jumlah atau volume total air bumi dengan rincian sebagai berikut: Air laut ada 97,3 %, air tawar 2,7 % dan baru 0,79 % yang terjangkau oleh kita untuk dimanfaatkan, lapisan es dan Glacir 77,3 %, air tanah dan resapan 22,4 %, air danau dan rawa-rawa 0,35 %, uap air di atmosfir 0,04 %, dan 0,01 % berupa air sungai. Lalu, akankah air yang tetap ini tetap pula mampu memberikan kehidupan ? Jawabnya ada pada jiwa dan semangat tanggung jawab lingkungan dalam diri kita.
Dari totalitas jumlah air di atas, secara ekologis ia akan membentuk suatu ekosistem dengan kehidupan lainya di alam ini. Hal ini berarti, dalam kacamata Lingkungan Hidup, air dengan daya dukungnya berinteraksi dan berkait bersama makhluk hidup lainnya membentuk satu sistem kehidupan yang dicirikan oleh berlangsungnya sua-tu pertukaran dan transformasi energi di antara berbagai komponen dalam sistem itu sendiri, atau dapat juga dengan sistem lain di luarnya ( M. Bahri Ghazali, 1996: 9).
Dengan memahami ekosistem air ini akan diketahui, bahwa ternyata di bumi ini terdapat suatu jaringan yang sangat luas dari keseluruhan peredaran air. Apabila ada suatu bahan (kimiawi) dibuang dalam suatu sistem air di suatu tempat, maka ia akan tiba di tempat lain melalui berbagai kemungkinan. Kemungkinan ini bisa muncul karena dalam suatu ekosistem air terdapat suatu siklus hidrologi (Hydrological Cycle) (Slamet Ryadi, 1984: 29). Maksudnya, air yang sudah terkon-taminasi oleh bahan kimiawi tersebut bergerak dan berproses sesuai urutan siklus melalui penguapan (evaporasi) ke atmosfir bumi, pembentukan awan (kondensasi), jatuhnya air ke permukaan bumi dalam bentuk hujan (presipitasi), dan mengalirnya air tersebut pada permukaan bumi dan di dalam tanah untuk kemudian menjadi uap lagi. Demikian Dr. Azrul Azwar (1993: 32-33) memberikan gambaran singkatnya.
Apabila salah dari mata rantai siklus tersebut terganggu atau terputus, keseluruhan ekosistem air akan terganggu juga. Kualitas air hujan yang turun sangat ditentukan oleh kualitas air permukaan tanah yang diuapkan, begitu pula selanjutnya kualitas air dalam tanah. Apabila salah satunya tercemar, berarti ada suatu gangguan dalam siklus air tersebut, sehingga berpengaruh besar terhadap keseluruhan ekosistem air. Bila gangguan yang berupa pencemaran ini tidak segera diatasi, bisa terjadi ‘kiamat air” karena terputusnya siklus satu dengan lainnya dalam ekosistem air tersebut yang barangkali sudah sangat sulit lagi ditangani, kalau tidak dikatakan tidak mungkin.
Kualitas air di suatu tempat lebih banyak dipengaruhi oleh perilaku dan cara pandang kita terhadap air. Perilaku tak bertanggung jawab dan sikap masa bodoh akan membawa kondisi air tambah terpuruk dalam pencema-ran. Perilaku ini berkonsekuensi terhadap penggunaan air tanpa memperhitungkan dampaknya bagi lingkungan, sehingga terkesan asal pakai. Barangkali, kebiasaan kita di Indonesia ini telah menunjukkan salah satu dari sekian perilaku yang tidak bertanggung jawab dan masa bodoh tersebut. Sungai-sungai di Indonesia sudah sejak dulu hingga sekarang selain dipakai untuk keperluan irigasi, keperluan air minum, dan kebutuhan sehari-hari, pada saat yang bersamaan dipakai juga sebagai tempat pembuangan kotoran manusia dan limbah rumah tangga, bahkan industri. Hal ini tampak menyatu erat dengan pandangan masyarakat yang menempatkan rumah-rumah mere-ka di pinggiran sungai, dan sungai pun diposisikan di belakang rumah sehingga mempermudah dalam pembuangan air comberan (MUI, 1993: 19). Tentu, penyakit potensial akan menjadikan ini sebagai sarana bersarang dan penularan.
Sedang cara pandang yang keliru terhadap air adalah cara pandang konsumtif. Hal ini dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa air terlihat melimpah di mana-mana, sehingga Emil Salim (1986: 187) melihat ada suatu pandangan masyarakat yang mengatakan bahwa air itu sumber alam yang tak terbatas dan sumber yang bebas biaya. Maka, terjadilah eksploitasi air yang berlebihan dan cenderung tidak mengenal hemat air. Oleh karena itu, untuk mengendalikan pandangan kon-sumtif terhadap air ini, Otto Soemarwoto (1987: 52-53) menyarankan pemanfaatan air seca-ra rasional. Cara yang disarankan adalah, selain tidak memandang air sebagai semata-mata sumberdaya milik umum, juga memanfaatkan air sesuai batas daya dukungnya untuk berregenerasi atau berasimi-lasi. Selebihnya, apakah air itu hendak diperun-tukkan untuk suatu sektor usaha tertentu atau digunakan secara simultan (satu air untuk banyak sektor) tidak apa-apa, asal sesuai batas daya dukung tersebut, sehingga tidak menggang-gu atau bahkan merusak sama sekali peruntukan air itu sendiri.
Selama ini, peruntukan air lebih mengarah ke hal yang bersifat ekonomis, yaitu untuk produksi (perikanan, pertanian, peternakan, dan perindustrian) dan konsumsi (minum dan kebutuhan rumah tangga) (Otto Soemarwoto, 1987: 52). Peruntukan semacam ini dalam pandangan penulis terkesan bernuansa materialis, sehingga nantinya akan menimbulkan suatu sikap egoisme yang cenderung mengedepankan cukupnya kebu-tuhan pribadi terhadap air dengan mengabaikan hak dan kebutuhan yang sama pihak lain terhadap air. Sikap egois ini pada akhirnya juga akan menyia-nyiakan pemanfaatan air secara sekehendaknya sendiri dengan tidak mau tahu hasil pencemaran yang diperbuatnya, yang penting kebutuhan air untuk dirinya sendiri sudah tercukupi. Pandangan ini tentunya untuk menyikapi langkah selanjutnya terhadap sistem peruntukan yang terlanjur mengakar dalam masyarakat.
Terlihat oleh kita, para petani seakan tidak mau berpikir, bahwa pupuk kimia dan insektisida yang mereka gunakan, pada akhirnya akan mencemari tanah dan air. Yang penting baginya. Hasil panen bagus. Para nelayan tak mau tahu bahwa peledak dan obat pemusnah ikan yang digunakannya merusak ekosistem air dan kehidupan di dalamnya. Yang penting baginya hasil tangkapan hari itu melimpah. Para pengusaha industri terkesan menutup mata, bahwa limbah pabrik yang dialirkannya ke sungai-sungai sekitar akan mencemari air yang dibutuhkan penduduk dan merusak kualitas air sumur mereka, baginya yang penting, roda mesin pabrik tetap berjalan, produksi melimpah, uang berjaya. Tak ketinggalan, ibu-ibu rumah tangga dan keluarganya pun menghabur-hamburkan deterjen untuk mencuci dan sebagainya dengan tidak pernah terlintas akibat buruk bagi lingkungan hidupnya, asal suami senang dan bertambah sayang karena pakaian-pakaiannya bersih dan rapi semua.
Memang, peruntukan air secara demikian, hasilnya dapat kita rasakan pula, di antaranya, padi lezat yang kita makan, baju bersih yang kita pakai, ikan besar yang kita jadikan lauk, dan sebagainya. Artinya, hasil tersebut berguna dan bermanfaat untuk kepentingan umum juga. Dan ini suatu hal yang baik. Akan tetapi, hendaknya air tidak lagi dipandang secara ekonomis belaka. Sebab, sebesar apa pun hasil yang diperoleh dari pemanfaatan air dengan mengor-bankan ekosistem air itu sendiri akan berakibat fatal bagi kesejahteraan hidup bersama dan anak cucu kemudian.
Teori kesejahteraan layak dikemukakan dalam kasus ini. Artinya, setiap pergerakan air yang ada hubungannya dengan manusia, haruslah bernilai sebesar-besar bagi kemanfaatan kesejahteraan manusia dalam hidup bersama dan kebersamaan hidup, baik itu cara pemakaian, penyediaan, pembuang-an, pemeliharaan aliran air alamnya, atau yang disebut dengan istilah Siklus Kontak Air (Azrul Azwar, 19: 33). Dengan tetap memperhatikan kesehatan dan standar kualitas air dari sisi persyaratan fisis, kimiawi, biologis, dan radiologisnya (Slamet Ryadi, 19: 12).
Teori ini tentunya lebih mengedepankan pentingnya air bagi bersama. Setiap tetes air tidak boleh disia-siakan dan ditelan-tarkan. “Penggunaaannya harus memberikan manfaat demi peningkatan kesejahteraan manu-sia”. Bagitulah amanat mantan Presiden Suharto dalam peringan Hari Pangan se-Dunia tahun 1994 di Nusa Tenggara Barat (Abdul Rahim, 1996: 52). Bisa jadi, tetesan air tersebut merupakan bagian dari jatah kesejahteraan hidup orang lain. Oleh karena itu, ia harus dipelihara dengan baik, seakan kita sedang memperhatikan dan memelihara kehidupan keluarga kita sendiri. Jangan sampai seperti yang digambarkan DEPUTI II Badan Pengendali Dampak lingkungan (BAPEDAL), Nabiel Makarim, M.P.A., M.S.M. bahwa dengan kekayaannya, orang kaya mampu medapatkan air dengan begitu mudah melalui PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum), sedangkan orang miskin harus membeli air “pikulan”, sehingga orang miskin harus pula membeli air lebih mahal dari orang kaya. Itu pun kalau ia mempunyai uang atau mampu membeli (Lihat, Tahun 2000, Jawa-Bali ‘Kerontang’, Republika, (Jakarta), 7 Mei 1998, h. 9., Jawa Terancam Defisit Air, Republika, (Jakarta), 24 September 1998, h. 9).
Jika demikian adanya, masih mampukah air kita di masa yang akan datang tetap menjadi bahan dasar bagi kehidupan, atau minimal memberi kesejahteraan hidup bagi kita bersama ?
B. Air dalam Kajian Hukum Lingkungan
Dalam pembagian Hukum Klasik dikenal dua lapangan hukum, yaitu Hukum Publik, meliputi Hukum Tata Negara, Hukum Administrasi Negara, Hukum Pidana, dan Hukum Internasional. Sedang lapangan hukum kedua adalah hukum Privat (perdata) yang meliputi Hukum Dagang dan Hukum Antartata Hukum (Intergentil). Sementara, Hukum Adat dalam Pandangan RM. Gatot P. Soemartono (1996: 24) tidak merupakan lapangan (bagian) hukum tersendiri, karena sudah meliputi kedua lapangan hukum di atas.
Lebih lanjut, RM. Gatot P. Soemartono (1996: 24) juga menunjukkan keyakinannya bahwa istilah “Hukum Lingkungan” yang sekarang ini ramai dibicarakan, merupakan konsepsi yang relatif masih baru dalam dunia keilmuan, khususnya Ilmu Hukum. Ia lahir bersamaan dengan tumbuhnya pengertian dan kesadaran untuk melindungi dan memelihara Lingkungan Hidup. Kesadaran ini dituangkan dalam bentuk peraturan hukum yang berorientasi pada kepentingan alam (Natures Interest Oriented Law) atau dalam penjelasan Danusaputro yang dikutip oleh Gatot P. Soemartono (1996: 24), peraturan yang mengharuskan adanya penjagaan terhadap kelestarian alam.
Air merupakan salah satu dari sekian banyak subsistem atau bahkan sistem yang berpengaruh besar terhadap kehidupan di alam ini. Berarti, ia merupakan satu aspek yang integral dengan Lingkungan Hidup. Oleh karena itu, air pun tidak boleh luput dari kesadaran hukum manusia terhadap lingkungannya, yaitu harus pula dijaga dan dilestarikan.
Apabila Hukum Lingkungan ini dikaitkan dengan peraturan perudangan-undangan, khususnya aspek air, masih menurut Gatot P. Soemartono (1996: 25), panjang atau pendeknya sejarah tentang peratur-an tersebut sangat tergantung dari apa yang menurutnya dipandang sebagai ‘Environmental Concern’. Sebagai contoh, ada-nya peraturan zaman Romawi tentang jembatan air (Aqueducts) yang bisa dijadikan bukti adanya ketentuan teknik sanitasi dan perlindungan lingkungan (Koesnadi Hardja-soemantri, 1994: 30-31).
Di Indonesia sendiri, melalui prasasti Jurunan tahun 876 M diketahui adanya organisasi yang berhubungan dengan lingkungan (air) yang disebut ‘Tuhagusali’. Organisasi ini terdiri dari petugas-petugas pengendali pencemaran yang ditimbulkan oleh pertukangan logam, dan menariknya pajak bila diketahui terjadi pencemaran (E. Gumbira Said, 1987: 63-64).
Masyarakat adat Maluku mempunyai sebuah ajaran yang disebut ‘Sasi’, yaitu ajaran adat yang melarang perusakan komponen Lingkungan Hidup tertentu, seperti hutan, kawasan penangkapan ikan, mangrove, terumbu karang, dan bagian alam lainnya yang dapat memberi manfaat bagi manusia (Lihat, Untuk Memelihara Ling-kungan Hidup Hak Masyarakat Adat Perlu Dikembalikan, Republika, (Jakarta), 16 Oktober 1998, h. 5). Mengomentari ajaran ini, Emil Salim berkata, bahwa sebelum adanya intervensi kekuasaan, kelestarian lingkungan di pulau itu cukup terjaga, sebab masyarakat adat lebih begitu akrab dengan lingkungannya.
Suku Baduy hingga saat ini dicatat dalam sejarah sebagai suku yang terpinggirkan oleh kekuasaan Islam di bawah Sultan Hasanuddin Banten. Paling tidak, hal ini ditulis oleh sejarahwan Belanda, Pleyte (1909), Yacob, dan Meijer (1891) (Lihat, Memahami Falsafah “Manusia Air”, Singgalang, (Padang), 4 Oktober 1989, h. 8). Belakangan ini, melalui penelitian seorang Guru besar Antropologi yang menggeluti adat masyarakat Baduy, Prof. Kusnaka Adimiharja, ditemukan, bahwa pada dasarnya, masyarakat Baduy merupakan ‘Manusia Air’, karena kebera-daannya di belantara Gunung Kendeng untuk menjaga ekosistem air, bukan karena tekanan Islam. Ekosistem ini perlu dijaga, sebab di Banten terdapat sungai Ciujung yang yang berfungsi sebagai jalan transportasi utama untuk meng-angkut hasil pertanian dari pedalaman ke pelabuhan Banten, suatu pelabuhan terpenting waktu itu. Oleh karena itu, lanjut Kusnaka, kelestarian aliran air perlu dipertahankan dengan menjaga kelestarian hulu sungai yang berasal dari daerah Cibeo, Kanekes.
Sampai sekarang ini, dalam masyarakat Baduy dikenal banyak sekali “Pikukuh” (ketentuan mutlak) yang berupa ‘Teu Wasa’ (tabu). Prof. Dr. Judistira K. Garna yang juga Guru besar Antropologi Universitas Pajajaran Bandung, mencontohkan teu wasa tersebut. Bagi masyarakat Baduy teu wasa untuk meng-ubah bentuk jalan air (membuat kolam atau irigasi), mengubah bentuk tanah (menggali, meratakan, mencangkul), mengubah jadwal tanam, menggunakan teknologi kimia, membuat sumur, mandi pakai sabun, dan menggosok gigi dengan pasta gigi di sungai.
Contoh-contoh di atas meru-pakan gambaran antropologis, bahwa pondasi pengaturan Ling-kungan Hidup, khususnya aspek air telah ditancapkan sejak semula. Meskipun gambaran kesadaran hukum di atas masih terlalu bersifat sektoral (kewilayahan), dan hanya bertumpu pada aspek tertentu (air saja) dari keseluruhan aspek Lingkungan Hidup, namun ia tetap mempunyai masukan yang berarti bagi penambahan instrumen Hu-kum Lingkungan yang berkembang saat ini.
Hukum Lingkungan yang berkembang dan dinilai bersifat global pun, tentu tidak bisa mengabaikan begitu saja peristiwa-peristiwa terdahulu yang meru-pakan embrio dikukuhkan Hukum Lingkungan itu sendiri. Bisa dicontohkan, betapa besarnya peran Rachel Carson dalam membang-kitkan kesadaran lingkungan melalui buku The Silent Spring-nya, sehingga mampu memaksa diadakannya Konferensi Stockholm yang terkenal itu dan konferensi-konferensi berikut yang meng-iringinya.
Peristiwa yang tak kalah hebatnya, khususnya mengenai air dan lingkungannya adalah timbulnya ‘Gerakan Sanitasi’ di Inggris yang turut mengontrol ledakan Revolusi Industri abad 19, sehingga berhasil pula memaksa dikeluarkannya ketentuan-keten-tuan mengenai pembuangan dari tinja dan sampah (RM. Gatot P. Soemartono, 1996: 26).
Terlepas dari kontroversi dan polemik antara Leenen dan J. Polak yang dilatari oleh pandangan apakah Lingkungan Hidup itu sebagai Subyek Hukum atau bukan (Keterangan lebih lanjut dan detail tentang polemik Leenan-Polak ini bisa dirujuk pula pada tulisan RM. Gatot P. Soemartono, h. 47-49), dan bukan pula maksud Penulis untuk cuci tangan dari per-masalahan ini, yang jelas Hukum Lingkungan saat ini sudah cukup eksis sejalan dengan makin besar dan meningkatnya permasalahan ling-kungan zaman “Post Modern” ini.
Eksisnya Hukum Lingkungan dalam masyarakat ditunjukkan oleh adanya kesadaran masyarakat untuk menjaga dan melestarikan lingkungannya. Hal ini dibuktikan pula oleh adanya organisasi-organisasi pecinta lingkungan yang turut mengontrol adanya “Keja-hatan Lingkungan”, baik internasional maupun nasional, seperti Green Peace, Friends of The Earth, Marine Conservation Society, WALHI (Wahana Lingkungan Hidup), dan sebagainya. Gerakan cinta lingkungan pun turut mewarnai iklim ini, ada gerakan Hemat Air, Gerakan Prokasih (Program Kali Bersih), hingga bermuara pada Gerakan Disiplin Nasional. Undang-undang atau Ordonansi lama pun kini mulai banyak ditelaah ulang oleh para pakar di bidangnya, tentunya juga untuk dijadikan referensi hukum dan perundangan lingkungan yang ada sekarang ini. Undang-Undang Nomor 4/1982 dan Nomor 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah merupakan contoh dan bukti akhir tentang eksisnya Hukum Lingkungan, khususnya di Indonesia. Meskipun demikian, dalam kacamata Emil Salim, perangkat hukum tersebut masih belum sepenuhnya menghayati penglihatan lingkungan (Emil Salim, 1986: 35).
Hukum Lingkungan yang terwujud dalam peraturan perundang-udangan, khususnya tentang air, pada dasarnya Indonesia tidak terlalu ketinggalan bila dibandingkan dengan Amerika. Hal ini bisa dibuktikan dengan adanya informasi perkembangan Hukum Air Federal di Amerika yang menyebutkan, bahwa undang-undang pertama yang melatari ditetapkan Undang-undang Pe-ngendalian Polusi Air 1972 adalah Undang-undang tentang Polusi Bahan-bahan Minyak tahun 1924, yang diikuti oleh ketetapan Standar Air Minum Sehat untuk Umum tahun 1962, Undang-undang Kualitas Air tahun 1965, Undang-undang Restorasi Air Bersih tahun 1966, dan terakhir Undang-undang Air Minum Bersih tahun 1974 (N.H. Greenwood and J.M.B. Edwards, 1979: 252).
Di Indonesia, tahun 1925 sudah ada peraturan tentang Penanggulangan Pencemaran Laut. Bedanya, di Amerika, Hukum Airnya tertuang dalam bentuk Undang-undang, sehingga kekuatan hukumnya lebih solid. Sedang di Indonesia, baru tersirat dalam ‘Peraturan Pelabuhan’ (Daud Silalahi, 1996: 21). Namun demikian, minimal, Menteri Kesehatan RI telah menetapkan berbagai peraturan tentang air dari sisi kesehatan, seperti Peraturan Nomor 01/BIRHUKMAS/I/1975 tentang Syarat dan Pengawasan Kualitas Air Minum, Peraturan Nomor 172/Menkes/Per/XIII/1977 tentang Syarat-syarat dan Pengawasan Kualitas Air Kolam Renang, Peraturan Nomor 173/Men-kes/Per/VIII/1977 tentang Penga-wasan Pencemaran Air dari Badan Air untuk berbagai Kegunaan yang Berhubungan dengan Kesehatan (Slamet Ryadi, 1984: 106-122). Baru pada tahun 1990 dikeluarkan PP. Nomor 20/1990 tentang Pengen-dalian Pencemaran Air yang diikuti oleh Keputusan-keputusan Menteri Lingkungan Hidup tahun 1995 tentang Baku Mutu Limbah Cair bagi Berbagai Kegiatan. Secara khusus, pemerintah mengeluarkan pula peraturan tentang sungai yang tertuang dalam PP. Nomor 35 Tahun 1991 dan dipertegas lagi dengan adanya Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 63 /PRT/1993 tentang Garis Sem-padan Sungai (Bantaran Sungai).
Banyaknya peraturan di atas ternyata tidak berarti permasalahan air dan pencemaran dapat segara diatasi. Hal ini dibuktikan oleh adanya data PEMDA DKI Jakarta yang menyebutkan bahwa 99 % sumur dangkal di daerah tersebut sudah tercemari oleh zat kimia dan bakteri Coli (bakteri dari tinja). Kualitas air pantai utara Jakarta dalam radius 1 KM juga sudah tercemari oleh bahan kimia berat sejenis Timbal dan limbah rumah tangga dari deterjen (Lihat, Masalah Air di DKI Makin Serius, Republika, (Jakarta), 5 Janurari 1998, h. 7).
Apakah ini karena kesalahan perencanaan pembangunan, pemi-lihan teknologi yang kurang tepat, atau pemanfaatan fasilitas alam secara sembarangan. Yang jelas, Hukum Pidana Lingkungan nampaknya sudah waktunya mengambil peran untuk kemudian dilaksanakan secara tegas. Diper-lukannya pendekatan Hukum Pidana Lingkungan ini karena sudah begitu akutnya permasalahan pencemaran lingkungan, sehingga perbuatan ini sudah dinilai tercela dan pelakunya, baik perorangan atau Badan Hukum perlu mendapat sanksi pidana, karena merugikan masyarakat (M. Rasyid Ariman, 1988: 16, W. Friedman, 1972: 91). Apalagi, Lingkungan Hidup merupakan sumber kebutuhan manusia dalam melangsungkan kehidupannya.
Dasar pijakan pendekatan Hukum Pidana Lingkungan ini dapat dicermati dalam Undang-undang Nomor 4/1982 Bab VII Pasal 22 yang menyebutkan adanya delik pencemaran atau perusakan Lingkungan Hidup dengan sanksi pidana sekaligus sanksi perdata. Sanksi keperdataan ini, sebagai-mana tertulis dalam pasal 20 adalah pemberian ganti rugi kepada pihak penderita dan biaya pemulihan Lingkungan Hidup kepada negara (Lihat, UU No. 4/1982 Tentang Ketentuan Pokok pengelolaan Ling-kungan Hidup, Surabaya: Pustaka Tinta Mas, t.th., h. 13 – 14). Penerapan dua sanksi sekaligus ini dalam pandangan M. Rasyid Ariman (1988: 23) merupakan perkembangan baru dalam Hukum Pidana.
Untuk sekarang ini, ketegasan pelaksanaan Hukum Pidana Lingkungan sudah sangat dinanti-nantikan, dan di masa yang akan datang, dengan mulai langkanya air, perlu dipikirkan pula secara lebih dini langkah-langkah meng-atasi problema pemilikan dan peruntukan air, sehingga tidak terjadi perebutan air di kemudian hari. Untuk itu, perubahan dan peningkatan Peraturan-peraturan Pemerintah menjadi Undang-undang Air, patut dijadikan pertimbangan.
C. Air dalam Kajian Fiqh
Tulisan ini berangkat dari kesadaran religius, bahwa kacamata agama sebenarnya juga dapat digunakan untuk melihat atau bahkan mengobati buramnya masa depan lingkungan yang ditandai oleh berbagai macam kerusakan.
Jauh sebelum problema ling-kungan ini diperbincangkan, Alquran telah memberikan suatu peringatan akan bahaya lingkungan yang ditimbulkan oleh peran aktivitas manusia. “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”. Bukan sekedar peringatan, lebih jauh, isi kandungan Alquran juga mema-parkan nilai kesadaran yang kentara sekali berpihak kepada lingkungan. Perhatikan Alquran Surat Al-A’râf Ayat 56 dan surat Al-Qasas Ayat 77. Oleh karena itu, wajarlah apabila kemudian UNESCO (United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization) tahun 1992 menetapkan pengajaran agama dalam menunjang pembangunan berkelanjutan (Lihat, Melindungi Bumi dengan Agama dan Tradisi, Republika, (Jakarta), 7 Nopember 1997, h. 16), meskipun para ilmuwan sendiri kadangkala atau bahkan sering mengabaikan (etika) keagamaan ini sebagai suatu pendekatan, karena dinilainya kurang relevan dengan Metodologi Ilmu Pengetahuan yang bersifat obyektif (Rakhmat Bowo Suharto, 1994: 56).
Berangkat dari tulisan di atas, akan dicoba dipaparkan telaahan Islam tentang Lingkungan, khusus-nya aspek air dengan melihat perangkat Fiqhnya. Acuan Fiqh ini sangat penting dikemukakan, mengingat selain ia merupakan hasil pemahaman ijtihadiyah ulama terhadap agamanya, ia secara implementatif juga dijadikan acuan perilaku hidup keagamaan sehari-hari, seperti ritualitas peribadatan, hukum halal-haram, dan seba-gainya.
Dalam skala umum, Ali Haidar secara terburu-buru mengatakan bahwa belum banyaknya ulama yang membahas persoalan ling-kungan saat ini, lebih disebabkan oleh tiadanya perangkat ilmu yang berupa referensi teks. “Dalam kitab-kitab kuning yang mereka pelajari belum ada masalah Lingkungan Hidup”, tegasnya (Lihat, Melindungi Bumi…h. 16).
Terlepas dari pernyataan Ali Haidar di atas, benarkah ulama kini keting-galan dalam merespons persoalan Lingkungan Hidup ? dan benarkah Fiqh-fiqh yang tertulis dalam berbagai kitab kuning juga tidak “bermuatan” masalah Ling-kungan Hidup ? KH. Ma’ruf Amin, Rais Syuriah PBNU (Pengurus Besar Nahdatul Ulama), menolak pernyataan tersebut, NU, menurut-nya, telah membahas tuntas persoalan tersebut melalui Forum Bahsul-Masâil saat Muktamar NU di Cipasung Jawa Barat tahun 1994, dan ulamanya sepakat menem-patkan persoalan Lingkungan Hidup bukan hanya sebagai persoalan sosial-ekonomi, tetapi sudah masuk persoalan dîniyyah atau keagamaan (Lihat, Republika, (Jakarta), 7 Nopember 1997, Lingkungan Hidup dalam Pandangan Ulama, h. 16. Mengenai hal ini baca pula keputusan hasil Bahsul Masail tersebut yang terangkum dalam “Pandangan Tanggung Jawab Nahdatul Ulama terhadap Lingkungan Hidup”. Di antara isinya adalah peningkatan kualitas hidup umat tak cukup hanya dengan mem-bangun aspek manusianya tanpa aspek alam lingkungannya, tindakan pencemaran lingkungan dapat dikatagorikan sebagai “Mafâsid” (kerusakan) dan pelakunya dinilai telah melanggar perbuatan kriminal (jinayah) dengan katagori Jarîmah Ta’zir dalam sanksinya (Lihat, Majalah An-Nadha’ir Edisi 12/Tahun III/XII/1997, h. 16 – 24). Dalam kaitan air dan Fiqh, Prof. Dr. KH. Ibrahim Hosen, Rektor Institut Ilmu Alquran Jakarta menjelaskan, kendati tidak terlibat langsung dalam persoalan Lingkungan Hidup, Fiqh telah membahas masalah pengelolaan limbah. Beliau mencontohkan hal tersebut dengan menganalogkan pendapat Ibnu Hajar Al-Khaitami (Pen. Al-Haitami) dalam kitab Tsufah, bahwa air najis bisa diolah menjadi tidak najis dengan cara menambah bahan kimia tertentu. Hasil analog tersebut dalam pandangan Ibrahim Husein adalah, air limbah yang awalnya najis bila diolah dengan campuran bahan kimia tertentu, ia dapat menjadi bersih dan bisa dimanfaatkan oleh manusia (Ketika Penulis mengonfirmasikan lebih lanjut via telepon kepada Prof. Dr. KH. Ibrahim Husein tanggal 14 Nopember 1999 tentang nama Kitab tersebut, diperoleh penjelasan bahwa Kitab termaksud yang benar berjudul “Tuhfatul- Muhtâj” bukan Tsufah sebagaimana tertulis dalam Republika. Untuk hal ini, dapatlah kiranya dilihat Abdul Hamid asy-Syarwani, Hawâsyi asy-Syarwâni alâ Tuhfatil- Muhtâj, ( tt.: Dar Sadir, tth.) dalam matan tuhfatul Muhtâj yang membahas persoalan air dan taharah). Perubahan air najis menjadi suci tersebut dalam pandangan mazhab Hanafi disebut dengan istilah istihâlah (Water recleaning) (Ibn Taimiyah dan Ibn Qayyim, 1975: 38-39).
Dari kedua pandangan ini, barangkali Ali Haidar tidak terlalu salah dalam pendapatnya bila didasarkan pada kenyataan, bahwa perbincangan mengenai Lingkung-an Hidup baru muncul dan populer tahun 1980-an. Namun, bukankah permasalahan lingkungan sendiri telah ada jauh sebelum perbin-cangan mengenai lingkungan itu dikembangkan.
Berangkat dari permasalahan lingkungan, nampaknya Ali Haidar tidak melihat secara jernih, bahwa ada peran ulama secara tidak langsung terhadap lingkungan sekitarnya waktu itu, yang diantisipasi melalui cara dan dialektika sederhana mereka lewat karya-karya besar (magnum opus)-nya. Oleh karena itu, layak kiranya untuk dicermati Bab Pembagian Air. Ihyâul-Mawât (Reklamasi Tanah), Musâqât (Irigasi), Harîm (lahan suaka/lahan lindung), Ahkâm al-Miyâh dan sebagainya dalam kitab Fiqh klasik, lalu direfleksikan dengan kondisi dan problem lingkungan saat ini. Sebetulnya, untuk hal inilah kajian mengenai air dalam fiqh dipastikan akan ditemukan secara detail. Tentunya diperlukan bab tersendiri sesuai rujukan dari beberapa kitab Fiqh yang ada.

D. Penutup
Demikian makalah ini dibuat untuk dijadikan perenungan dalam rangka secara bersama lewat wacana yang ada untuk mengembangkan konsep air secara utuh dalam kajian fiqh. Dan makalah ini tentunya merupakan hantaran menuju ke arah tersebut. Selamat berwacana !


*Penulis adalah lektor dalam mata kuliah fiqh pada STAIN Batusangkar

ANALISIS FIQH TERHADAP PRAKTIK PAGANG GADAI


Oleh: Iza Hanifuddin, M. Ag.


A. PENDAHULUAN

Falsafah adat bersendi syara’, syara’ bersendi kitabullah benar-benar telah memposisikan Sumatera Barat sebagai wilayah yang dipandang sarat dan kental nuansa keislamannya dan seakan telah merasuk dalam setiap lini kehidupan sosialnya. Bahkan, predikat wilayah serambi Mekkah juga sudah begitu melekat dalam berbagai pembicaraan yang seakan tengah mensejajarkannya dengan Aceh Darussalam. Oleh karena itu, berbagai pengkajian soal Sumatera Barat sulit sekali untuk dilepaskan dari penglihatan sisi keislamannya. Hampir saja tema sosial yang lahir dari negeri ini adalah Islam itu sendiri.
Tanah sebagai sebagai salah satu pendukung sosialnya juga tidak terlepas dari pengkajian pakar dalam perspektif Islam. Muchtar Naim telah mengawalinya pada tahun 1968 dan mendudukkan masalah ini. Pada masa-masa berikutnya, interaksi masyarakat adat Minangkabau dengan tanahnya dalam konteks tanah sebagai objek bisnis juga tidak luput dari pengkajian orang. Pagang gadai adalah tema yang paling sering dibahas orang karena sampai kini praktek tersebut masih tetap eksis diterapkan orang. Tulisan ini hanyalah pengulangan dari berbagai tulisan dengan pendekatan fiqh.
Fiqh sengaja dijadikan media analisis karena sifat fleksibilitasnya yang selalu bisa menjangkau praktek dan praksis masyarakat penggunanya. Dan biasanya, corak keberagamaan sebuah masyarakat salah satunya diukur dari pelaksanaan fiqh sosialnya. Apalagi, seperti di awal disampaikan bahwa nuansa keislaman masyarakat ini adalah begitu kental hingga masuk ke wilayah adatnya.
Banyak interaksi yang dilakukan oleh masyarakat Sumatera Barat yang dikenal sebagai suku Minangkabau terhadap tanahnya. Interaksi tersebut dimulai dari sejarah asal suku Minangkabau, batas wilayah yang masuk dalam kategori bersuku Minangkabau, interaksi penguasaan tanah, interaksi kepemilikan tanah, proses dan bentuk pewarisan tanah, hingga ke persoalan tanah sebagai objek bisnis seperti sewa, bagi hasil, pagang gadai, dan numpang karang. Belakangan ini, interaksi mereka sudah lebih mendalam lagi hingga ke persoalan konflik pertanahan dan proses penyelesaiannya di KAN (Kerapatan Adat Nagari) dan atau di Pengadilan Negeri, bahkan hingga ke Mahkamah Agung. Hal ini terjadi karena pada umumnya tanah di sini berstatus tanah ulayat.
Salah satu bentuk interaksi mereka dalam bisnis dengan tanah sebagai objeknya adalah pagang gadai. Pagang gadai benar-benar telah merambah ke wilayah tanah ulayat yang semestinya dalam adat berada dalam penguasaan komunitas, bukan pribadi. Bagaimana ini semua bisa terjadi dan terlaksana? Apa konsepsi masyarakat awal tentang membisniskan tanah ulayat dalam pagang gadai dan bagaimana perkembangannya kemudian ? Apakah hal yang telah dan sedang terjadi bisa dipandang sebagai fiqh yang beridentitas lokal Minangkabau ? Dalam tulisan ini akan dicoba diurai semaksimal mungkin.

B. TANAH DI MINANGKABAU
Dalam banyak suku, tanah merupakan inti simbolitas keberadaan komunitas tersebut. Tanah akan melekat dengan suku yang mendiaminya seperti tanah Jawa, tanah Sunda, tanah Minang. Ranah Minang salah satunya juga dapat dimaknai dengan tanah Minang dalam berbagai aspeknya. Istilah bakampung banagari, bakorong bajurai adalah wujud interaksi orang Minang dengan tanahnya. Interaksi ini menandakan betapa strategisnya posisi tanah bagi komunitas yang menguasainya.
Pada awal peradaban, tanah lebih dekat sebagai simbol kekuasaan (wilayah) daripada simbol kekayaan individual. Alquran sendiri menyitir anak, istri, perhiasan dari emas dan perak, ternak dan kuda perang sebagai simbol kekayaan serta memposisikan harta dengan anak sebagai sejajar dalam ayat lainnya. Peradaban serupa juga terjadi di Minangkabau. Bahkan, seiring munculnya nilai tanah sebagai harta dengan wujud merebaknya kepemilikan tanah oleh individual melalui pengaplingan, di Minang dengan sistem adat matrilinelnya, tanah tidak bisa dimiliki atau dikapling oleh individu tapi dikuasai oleh komunal. Perempuan selain sebagai punjer keturunan atau nasab kesukuan, mereka juga sebagai pihak yang memiliki fungsi strategis dan prioritas sebagai pemegang hak milik, hak pakai, waris dalam tanah ulayat dan limpapeh rumah gadang (Afrizal, 2002: 95). Kendati berada dalam kekuasaan perempuan, tapi tanah tidak bisa diperjual belikan dan bila terjadi, maka akan menjadi aib bagi suku yang melakukannya. Tanah seharusnya tidak terjual pada orang asing di luar suku. Jual beli itu pun akan dilakukan dengan sangat alot sekali karena harus melalui persetujuan semua pihak baik kaum perempuan maupun laki-laki tanpa terkecuali. Jadi, di saat banyak bangsa sudah memberlakukan kepemilikan individual atas tanah, di Minangkabau masih mempertahankan kepemilikan komunal demi kemaslahatan masa depan anak-anak dan kemenakan dalam satu suku dan kaum (Jurnal Antropologi, 2002: 138). Pengaturan tanah secara adat ini telah memposisikan tanah di Minangkabau ini sebagai tanah ulayat.
Sekarang ini sudah terjadi pergeseran yang sangat tajam terkait dengan fenomena tanah di Minangkabau. Penguasaan perempuan atas tanah sudah banyak diintervensi oleh para mamak yang semuanya laki-laki dan tidak jarang dijual secara sepihak oleh mamak dengan dalih sebagai penghulu suku atau kaum. Pembagian waris dengan sistem apapun juga turut mempengaruhi pola kepemilikan komunal menjadi individual sehingga dikenal pusako tinggi dan pusako rendah. Apalagi jumlah anggota kaum makin banyak. Penggunaan tanah sebagai lokasi pembangunan rumah baru bagi perempuan juga memungkinkan terjadinya distribusi tanah yang makin mengecil dan individualistik. Konflik suku tentang adat juga mendorong adanya tuntutan pembagian tanah menjadi dua bagian suku yang berkonflik. Pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah menuntut adanya penguasaan asset tanah untuk kepentingan umum sering terjadi sangat rumit dalam duduk basamo untuk baiyo batido. Ini barangkali juga menjadi faktor penghambat pembangunan sarana prasarana di Sumatera Barat.
Seiring dengan tercabik-cabiknya tanah, tercabik-cabik pula hubungan kekebaratan. Dulu kekerabatan di Minang ini lebih bersifat extended family dengan rumah gadang sebagai basis pendidikan usia dini bagi para anak dan kemenakan. Kini, kecenderungan telah berubah menjadi keluarga inti/keluarga batih di mana urang sumando (bapak) telah menggeser peranan mamak. Dan akhirnya, sistem kekerabatan matrilineal secara utuh dirasa dapat dipertanyakan eksistensinya. Kini, sistem matrilineal kelihatannya hanya berfungsi untuk menunjuk trah nasab. Selain ini, hampir-hampir tidak memiliki fungsi dan tidak memberi pengaruh apa-apa.
Belakangan, konflik soal tanah yang semestinya dapat diselesaikan di tingkat suku atau kaum melalui musyawarah para mamak atau melalui KAN (Kerapatan Adat Nagari) ternyata sebagian besar justru diselesaikan melalui meja hijau Pengadilan Negeri. Bahkan, 80% kasus perdata di Pengadilan Negeri di Sumatera Barat ini adalah kasus konflik tanah (Zulkarnain Harun, 2002: 35).
Praktik pagang gadai atas tanah menjadi sesuatu yang dilematis. Di satu sisi tanah tidak boleh diperjualbelikan, di sisi lain adat membolehkannya dengan syarat yang sangat ketat. Kendati syarat ini berisyarat larangan menggadaikan tanah, dalam praktiknya pagang gadai tetap saja berjalan. Tidak diketahui secara pasti kapan praktek pagang gadai dimulai di Minangkabau ini.
Kini, persoalan pagang gadai atas tanah masih belum ada datanya, berapa hektar tanah di Sumatera Barat yang masih dalam status gadai. Dan efek dari adanya kepemilikan individu, pagang gadai sangat begitu mudah dilakukan tanpa harus melalui prosedur yang rumit. Bila ini dibiarkan, jelas akan menambah daftar problema tanah di ranah Minang ini meski hal ini terjadi antaro awak samo awak. Wibawa adat, suku, dan kaum akan hilang begitu saja ketika simbol-simbol penyokongnya secara perlahan terkikis.

C. PROSES KESEJARAHAN PRAKTIK PAGANG GADAI
Konon, praktik pagang gadai di Minangkabau ini sudah terjadi jauh hari sebelum Islam datang. Kendati demikian, penulis masih meragukan ini mengingat masih begitu luasnya tanah saat itu yang tidak sebanding dengan jumlah penduduknya yang masih sedikit. Motif apa yang harus dibangun untuk menunjukkan bahwa pagang gadai sangat diperlukan saat itu. Motif ekonomi mungkin saja bisa digunakan sebagai alasan diberlakukan pagang gadai. Hanya saja, sesuai konteks kepemilikan tanah di Minangkabau yang bercorak komunal yang sangat kental pastinya saat itu, alasan ini jelas sangat sulit diterima karena akan terjadi penolakan dalam komitmen adat dan kesukuan. Selain itu, masih banyak objek fakultatif lainnya yang dapat digunakan sebagai pemenuhan ekonomi mendesak selain tanah seperti ternak, buah, dan tanaman.
Dari namanya, pagang gadai dimungkinkan kemunculannya justru saat Islam datang ke ranah Minang ini. Karena bahasa ini merupakan adopsi langsung dari terjemahan rihânun maqbûdhah dalam surat Al-Baqarah 283. Kendati gadai merupakan budaya banyak bangsa, namun gadai tanah merupakan hal yang baru dalam peradaban budaya bangsa. Penulis yakin bahwa di Minangkabau ini pada awalnya tidak pernah berlaku gadai atas tanah atau yang disebut pagang gadai itu. Pagang gadai hanya berlaku pada barang-barang bergerak (manqûl). Hal ini didasarkan pada kepemilikan tanah yang bersifat komunal di negeri ini. Status tanah di sini mirip seperti milik negara kecil Minangkabau yang tentu proses pemindahan dan penguasaannya pun harus melalui prosesi adat Minangkabau yang begitu alot dan rumit.
Dalam berbagai tulisan tentang adat Minangkabau, Pagang gadai di dilakukan dengan syarat yang sangat ketat dan dalam rangka menjaga prestise atau menutup malu kesukuan, yaitu ketika rumah gadang katirisan, gadih gadang alun balaki, mayik tabujua di tangah rumah, dan adaik indak badiri (mambangkik batang tarandam). Perkembangan kini, pagang gadai telah keluar dari syarat ketat tersebut seperti untuk berobat, makan, pendidikan, menutupi ketekoran dagang, melamar pekerjaan, dan ongkos naik haji (Sofjan Asnawi, tth.: 141, Zulkarnain Harun, 2002: 38). Kendati kedua masa itu sangat bersifat konsumtif, namun nuansa tolong-menolong dalam konteks komunal keadatan masih lebih terasa dalam masa awal karena orisinalitasnya. Kini, karena keterdesakan ekonomi, biasanya orang akan segera menggadaikan tanah tanpa melihat perbandingan nilai kesuburan tanah dengan nilai pinjaman uang yang diberikan, yang penting dapat uang. Bila tidak terdesak, penyewaan tanah lebih diminati. Syarat yang ketat dalam adat di atas semestinya dipahami sebagai isyarat abstrak adanya pelarangan gadai tanah di Minangkabau.
Dalam perkembangannya, pagang gadai berubah nama menjadi jual beli ta’liq (Sofjan Asnawi, tth.: 144) yang disinyalir adalah hasil dari proses kesepakatan adat dan syara’ dalam falsafah adaik basandi syarak, syarak basandi kitabullah, syarak mangato adaik mamakai. Namun, pastinya ini hanya perubahan nomenklatur alias bungkusnya saja dengan praktek dan isi yang sama persis dengan pagang gadai sebelumnya. Ini adalah hasil dari proses Islamisasi pagang gadai. Artinya, ada fase pagang gadai yang sesuai dengan Alquran, yaitu gadai untuk harta bergerak, fase pagang gadai atas tanah, dan fase Islamisasi pagang gadai berganti nama jual beli ta’liq dengan isi yang sama. Pada Fase terakhir ada yang janggal, yaitu pada kata “jual beli” ta’liq (tanah) yang secara adat hampir tidak ada referensinya karena tanah di Minangkabau pada dasarnya tidak bisa diperjualbelikan. Oleh karena itu, sampai saat ini yang masih berlaku adalah pagang gadai dan nyaris tak terdengar jual beli ta’liq atau apa pun meski prakteknya adalah itu ke itu juga. Di tempat lain di Minangkabu ini, pagang gadai disebut dengan bahasa siliah jariah dengan konsep pemegang gadai masih akan tetap memanfaatkan tanah sampai jariah (upah jerih payah) mengelola tanah tersebut dikembalikan. Upah jariah yang dimaksud adalah uang yang dipinjam oleh pemberi gadai (Lihat, Monografi Hukum Adat Daerah Sumbar, 1993, 577-578).
Dalam rangka menghindar dari peraturan UUPA tahun 1960, di mana praktek gadai tanah yang terlalu lama dan berkepanjangan masa pengembaliaannya harus diselesaikan dalam masa tujuh tahun setelah UUPA itu diberlakukan, maka masyarakat Minangkabau menjalankan praktek gadai dengan nama baru tapi berformat lama yaitu, pinjam meminjam atau salang bapasalang. Satu meminjamkan uang dan yang lain meminjamkan tanah (Sofjan Asnawi, tth.: 140). Dan ini adalah cadiaknyo orang Minangkabau untuk tetap bisa berinteraksi dengan pagang gadai dengan hîlah yang dibangun oleh komunitas adat yang hampir tidak ada rujukannya dalam kitab-kitab fiqh. Dan setelah lama undang-undang itu diberlakukan, nyatanya pagang gadai masih saja dipakai secara bulat-bulat hampir tidak mereka rasakan madharatnya.

D. ANALISIS FIQH ATAS PRAKTIK PAGANG GADAI
Pagang gadai diyakini sebagai gadai biasa pada objek-objek harta bergerak (manqûl) pada awalnya. Namun, seiring dengan dominasi mamak, munculnya kepemilikan individu, atau penguasaan dominatif oleh perempuan atas tanah, pagang gadai pun berlaku untuk tanah (‘uqqâr).
Pagang gadai adalah terjemahan langsung dari Rihân Maqbûdhah yang dijadikan dasar diperbolehkannya gadai dalam Alquran surat Al-Baqarah 283. Semua kitab fiqh umumnya menyebut dengan ar-rahn saja. Kebolehan ini didukung pula oleh praktik Nabi saw yang menggadaikan baju besinya untuk pinjaman konsumtif beliau (HR. Ahmad, Bukhari, Nasai, dan Ibnu Majah). Tidak diperoleh informasi apakah gadai tanah juga pernah terjadi pada masa itu. Baik Alquran dan Sunnah mengisyaratkan adanya gadai pada barang bergerak saja.
Kendati sebagian ulama (Dhahiri) mensyaratkan gadai/rahn boleh bila dalam keadaan bepergian, tapi secara umum ulama membolehkan praktik Ar-Rahn ini tanpa memandang keadaan, dan nyatanya gadai yang dilakukan Nabi saw sendiri dalam posisi tidak dalam bepergian. Ar-Rahn pada dasarnya adalah akad tabarru’ lit-ta’âwun (tanpa pamrih dengan motif tolong menolong) sebagai jaminan adanya hutang piutang. Karena prinsipnya adalah tolong menolong, maka tidak boleh mengambil keuntungan sedikitpun dari akad tersebut, termasuk pemanfaatannya. Penambahan keuntungan dari akad tersebut termasuk dalam kategori riba. Ini adalah logika yang dikembangkan dari konsep tabarru’. Hanya saja, ada hadis yang menjelaskan bahwa ketika rahn itu berupa binatang, maka boleh saja pemegang rahn memanfaatkannya untuk dikendarai atau diambil susunya sejauh si pemegang rahn menjalankan fungsi pemeliharaan dan perawatan (nafaqah) (HR. Bukhari, Tirmidzi, Abu Dawud dari Abu Hurairah). Ulama hanya berselisih soal apakah diperlukan izin dari si pemilik binatang rahn atau tidak. Namun, mereka sepakat membolehkan memanfaatkan rahn tersebut sebatas nafkah yang diberikan. Hal ini wajar dilakukan karena bila binatang itu dibiarkan saja maka jelas akan menimbulkan penyiksaan (al-îdzâ’) yang dilarang dalam agama. Prinsip pemanfaatan ini adalah untuk mempertahankannya agar tetap hidup dan tetap berstatus harta (hifdzun lil-hayâti wa ibqâul-mâl) (Lihat CD. Program Hadis “Mausû’ah al-Hadîs asy-Syarîf al-Kutub at-Tis’ah Versi 2.00 dalam tema rahn). Ini seakan seperti upah atau ganti rugi yang seimbang atas apa yang telah diupayakannya. Dan yang pasti, dalam konteks binatang ada kebolehan memanfaatkan yang disampaikan lewat hadis dengan syarat adanya nafaqah. Pandangan ini dipegangi oleh Imam Ahmad, Ishak, al-Laits, dan al-Hasan (H. Hendi Suhendi, 2002: 108). Dalam konteks baju besi, terdapat keumuman hadis yang mengisyaratkan juga harus dimanfaatkan, yaitu barang gadai tidak boleh ditutup pemanfaatannya oleh sang pemilik, baginya (manfaat/keuntungannya/al-ghunmu) dan kewajibannya (membayar hutangnya/al-ghurmu). Dalam tafsir yang lain, bagi yang mengelola (alghurmu) berhak mendapatkan manfaatnya (al-ghunmu) (Lihat CD. Program Hadis “Mausû’ah al-Hadîs asy-Syarîf al-Kutub at-Tis’ah Versi 2.00 dalam tema rahn). Kedua hadis tersebut mengisyaratkan kebolehan pemanfaatan barang gadai, baik oleh pemilik barang gadai atau pemegang gadai. Artinya, keduanya memiliki peluang yang sama untuk memanfaatkannya. Tidak ditemukan hadis yang mengaitkan pemanfaatan barang gadai sebagai riba dalam literatur fiqh sekalipun dalam kitab fiqh Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqhul-Islâmiy Wa Adillatuh. Abdul Hamid Hakim (1932: 64-65) mungkin sebagai salah satu penulis yang memasukkan hadis larangan pemanfaatan barang gadai karena berunsur riba dengan bunyi arti: “Ketika seekor kambing digadaikan, pemegang gadai boleh meminum susunya sebanyak (kantung/’alaf) susuan (berdasar biaya perawatannya). Bila berlebih dari delapan kantung susu maka sudah termasuk riba”. Beliau tidak memberi penjelasan dan keterangan apa-apa tentang hadis ini. Bahkan, beliau terkesan membolehkan tanah gadai dimanfaatkan oleh pemegang gadai dengan dalih bahwa tidak semua transaksi itu harus lahir dari akad yang sah tapi juga bisa lahir dari izin dan ridha meski berdasarkan kebiasaan masyarakat (‘urf).
Wahbah az-Zuhaili (1989: 253-255) secara tegas melarang membiarkan barang gadai. Barang gadai wajib dimanfaatkan saat digadaikan, karena bila tidak, dipandang akan menghilangkan nilai/manfaat harta (tadhyî’un lil-mâli). Hanya saja, siapa yang harus memanfaatkan, penggadai atau penerima gadai ? Dalam Penjelasannya, Jumhur ulama (Hanafiyah, Hanabilah) melarang pemilik barang gadai untuk memanfaatkan barang gadai kecuali ada izin dari pemegang gadai karena hak menahan barang gadai itu selamanya ada pada pemegang gadai. Bahkan, Malikiyyah lebih tegas lagi melarang pemanfaatan tersebut oleh pemilik meski ada izin dari pemegang gadai dan memandang bahwa izin tersebut akan membatalkan akad gadai. Syafi’iyyah saja yang membolehkan pemilik gadai untuk memanfaatkan barang gadai pada konteks yang tidak mengurangi (naqshu) objek gadai seperti memanfaatkan barang gadai sebagai kendaraan, kerja, dan mengangkut barang (binatang), pakaian (baju besi), membacanya (buku), dan tempat tinggal (rumah). Tapi, bila pemanfaatan tersebut mengurangi nilai barang gadai seperti pembangunan gedung dan pengambilan hasil tanaman pada tanah yang digadaikan, maka tidak boleh.
Hanafiyah membolehkan pemegang gadai untuk memanfaatkan barang gadai setelah ada izin pemilik barang gadai. Karena hak pemegang hanya untuk menahan bukan hak untuk memanfaatkan. Namun, sebagian Hanafiyah (Ibnu Nujaim al-Hanafi) tetap melarangnya dengan alasan riba atau mirip riba. Malikiyyah (Dardiri dan Dasuki) membolehkan pemegang barang gadai (pada jual beli/mu’awwadhat bukan hutang piutang) untuk memanfaatkannya dalam waktu terbatas setelah ada izin. Mereka juga menisbatkan pada adanya riba. Syafiiyyah melarang pemegang gadai untuk memanfaatkan barang gadai dengan dasar hadis bahwa hak manfaat ada pada pemilik barang gadai (lâ yughlaqu ar-rahnu…). Tapi, Syafiiyyah membolehkan pemanfaatan barang gadai jual beli bagi pemegangnya. Hanabilah membolehkan pemanfaatannya sejauh ada izin pemilik dan ada pengganti (iwadh). Tanpa ini, sama dengan riba. Namun, bila tidak ada izin masih tetap boleh memanfaatkan sebesar nilai hutang yang dipinjamkannya. Sedang pemanfaatan pada binatang dibolehkan sesuai dengan hadis (Wahbah az-Zuhaili, 1989: 256-259).
Secara umum, jumhur ulama tetap bertahan pada ketidakbolehannya memanfaatkan barang gadai apa pun karena setiap penambahan yang diakibatkan oleh hutang piutang adalah riba sebagaimana hadis riwayat Haris bin Abi Usamah (H. Hendi Suhendi, 2002: 108). Bagi Jumhur, izin pemilik rahn tidak diperlukan karena ini menyangkut riba dan izin tersebut tidak dapat merubah haramnya riba menjadi halal.
Meski demi kehati-hatian soal riba sehingga sebagian besar ulama memandang izin pemanfaatan oleh pemilik tidak berpengaruh apa-apa, namun, Mahmud Syalthut masih tetap sejalan dengan pemikiran sebahagian Hanafiyah bahwa izin tersebut dapat memberi pengaruh sejauh izin yang diberikan itu dengan penuh ikhlas, ridha, dan tulus, bukan karena keterpaksaan karena kekhawatiran tidak mendapat pinjaman hutang (M. Ali Hasan, 2004: 258). Izin diperlukan karena objek rahn akan mubadzir bila tidak dimanfaatkan, sedang al-ibdzâr termasuk hal yang dilarang dalam Islam.
Dalam konteks lain, ada hadis yang menjelaskan bahwa kendati penguasaan objek rahn ada pada pemberi piutang, namun orang yang berhutang tidak boleh dihalang-halangi untuk memanfaatkan objek rahn tersebut (HR. Hakim, Baihaqi, dan Ibnu Hibban dari Abu Hurairah). Tindakan menghalang-halangi pemilik dari memanfaatkan barangnya secara sendiri disinyalir akan menimbulkan kemungkinan pemanfaatan barang rahn secara sepihak tanpa sepengetahuan pemilik. Dan ini jelas akan menimbulkan perilaku riba hutang (duyûn/nasîah) di mana ada pihak yang mau mencari keuntungan dibalik hutang (al-ghunmu bil-ghurmi) atau keinginan mendapatkan hasil sekaligus membebankan kepada orang lain sebagai penanggung biaya (al-kharrâju bidh-dhamâni) (Heri Sudarsono, 2005: 15-16). Kendati demikian, dalam hal ini pun ulama ada yang menyangkal bahwa pemilik objek rahn tetap tidak boleh memanfaatkan barang yang telah digadaikannya karena ia adalah jaminan yang berfungsi pengikat adanya hutang piutang.
Karena objek rahn itu lazimnya berada di tangan pemberi piutang, maka tidak lazim dalam masyarakat kita si pemilik memanfaatkan begitu saja. Maka, alternatif yang dapat ditawarkan sebagai bentuk kompromi untuk menghindar dari riba menurut sebagian ulama, atau sebenarnya rebutan pemanfaatan dan ibdzar adalah kedua belah pihak, pemberi piutang dan penerima hutang bersepakat untuk mengelola pemanfaatan objek rahn tersebut secara bersama dan hasilnya dibagi dua sesuai andilnya masing-masing.
Dari uraian di atas tergambar adanya tarik ulur tentang pemanfaatan barang gadai yang berujung pada kesimpulan Wahbah az-Zuhaili di atas bahwa kita dilarang membiarkan barang gadai. Barang gadai wajib dimanfaatkan saat digadaikan, karena bila tidak, dipandang akan menghilangkan nilai/manfaat harta (tadhyîun lil-mâli).
Beberapa alasan yang dapat dikritisi adalah larangan pemanfaatan barang gadai oleh pemegang gadai karena dipandang mengandung unsur riba atau mirip riba. Kritiknya adalah: Ayat tentang gadai (rihân maqbudhah) dan praktek gadai baju besi nabi saw, turun dan terjadi pada akhir-akhir peperangan Nabi saw (tahun awal hijriyyah). Bahkan, hingga wafatnya, baju besi itu pun belum ditebus hingga akhirnya ditebus oleh Utsman bin Affan melalui Ali bin Abi Thalib (lihat CD. Hadis tentang rahn). Dalam hadis tersebut tidak disebut sama sekali larangan pemanfaatan barang gadai, bahkan diperintahkan. Selain itu, juga tidak ada tema hadis yang menyangkut soal riba kecuali yang dinukil oleh Abdul Hamid Hakim. Padahal, ayat tentang riba sendiri turun secara bertahap. Ayat pertama yang menyinggung soal riba turun di Mekkah (Ar-Rûm, 30: 39). Tapi, mufassir Al-Qurthubi mengatakan bahwa riba dalam ayat ini adalah bukan riba yang diharamkan. Ia bermakna “hadiah” atau riba mubah. Tahap berikutnya turun surat an-Nisâ’, 4: 161 yang mengisyaratkan keharaman dan kecaman praktek Yahudi dalam riba. Ayat ini termasuk ayat Madaniyyah. Tahap ketiga adalah turun Surat Ali Imrân, 3: 130 yang mengharamkan salah satu bentuk riba, yaitu adh’âfan mudhâ’afah. Tahap keempat adalah tahap terakhir yang mengharamkan riba secara total, dan ini terjadi antara akhir tahun delapan dan awal tahun sembilan hijriyyah (dalam tulisan Nasrun Haroen, 2000: 182-183 ditulis “abad” bukan tahun). Artinya, logika pengharaman pemanfaatan barang gadai dengan alasan riba sulit diterima karena hadis-hadis tentang itu lebih awal datang dan menyuruh memanfaatkannya, lalu datang ayat-ayat riba yang terjadi jauh setelah itu yang dimaknai tidak boleh dimanfaatkan sama sekali. Jika digunakan logika nâsikh mansûkh, maka akan terjadi pemubadziran aset di mana-mana akibat pemanfaatan barang gadai dilarang oleh ayat riba, dan ini jelas ditentang oleh Alquran dan mencap pelakunya sebagai temannya syetan. Hadis yang dikutip Abdul Hamid Hakim dengan demikian perlu dipertanyakan kedudukan dan validitasnya.
Kembali ke konteks pagang gadai. Dulu, barang bergerak sulit mendorong kecenderungan dan selera orang untuk mengambil manfaatnya saat dijadikan objek gadai. Kini, ketika tanah dijadikan objek gadai, segera muncul selera untuk memanfaatkannya karena memandang akan mubadzir. Hanya saja, konstalasi pemahaman fiqh yang dikembangkan oleh sosialnya nampaknya lebih cenderung kepada pagang gadai secara praktik, bukan tematik qur’ani. Pagang gadai dimaknai sebagai jual beli bergantung, jual berjangka, jual beli tempo, dan sebagainya, bukan lagi gadai. Oleh sebagian besar orang, pagang gadai atau yang semakna dengannya dipandang sebagai rekayasa bisnis (hîlah) untuk menghindar dari riba dengan prinsip saling memberi keuntungan. Anehnya, hampir jarang sekali orang yang memilih alternatif pengelolaan objek gadai secara bersama antara kedua belah pihak dan hasilnya dibagi dua sesuai andilnya masing-masing di atas yang dipastikan tidak berbau hîlah. Atau barangkali strategi ini masih dipandang tidak memenuhi rasa keadilan mengingat objek gadai bisa di-sapaduo-kan sementara objek hutang (uang) tetap dimanfaatkan oleh yang berhutang untuk berbisnis umpamanya tanpa bisa di-sapaduo-kan. Ketika tanah dijadikan objek gadai biasanya nilai pinjaman uangnya juga besar sehingga mengundang kecurigaan bukan hanya untuk konsumtif tapi juga berkemungkinan untuk bisnis produktif. Oleh karena itu, hampir tidak ada fiqh yang mengulas strategi ini.
Tema fiqh yang paling marak justru tentang pagang gadai yang banyak dipraktekkan kini di Minangkabau. Pagang gadai kini bukanlah gadai dulu. Secara latar sosial, pagang gadai dilakukan oleh masyarakat yang berorientasi bisnis cukup tinggi. Minangkabau dikenal sebagai masyarakat pedagang. Hampir setiap sisi sosialnya diorientasikan pada bisnis, termasuk pagang gadai, pitih dagang, dan berbagai akad yang mengiringi perkawinan seperti uang lompat pagar, pitih sesuduit, mahar jual yang mulanya untuk akad tabarru’ (tolong menolong). Dalam pagang gadai hampir-hampir tidak ada yang cuma-cuma dalam berhutang, seakan harus ada konsekuensi yang harus ditanggung kalau mau berhutang. Logika komunikasinya: “Jika uang Rp. 10.000.000,00 di tangan saya ini tidak saya pinjamkan kepada orang lain yang sedang memerlukan, maka dalam setahun akan mendatangkan keuntungan pada saya sekian juta jika saya bisniskan sendiri. Tapi, jika saya minta keuntungan itu dibayarkan kepada saya setelah pokok pinjaman dikembalikan kepada saya, maka ini jelas dan nyata-nyata riba yang diharamkan. Maka, harap maklum sajalah jika tanah yang dijadikan objek gadai atas pinjaman uang Rp. 10.000.000,00 tersebut saya olah dan saya manfaatkan sebagai ganti keuntungan itu. Bukankah anda juga telah memanfaatkan uang tadi dan mendapatkan keuntungan bila anda bisniskan ?”.
Logika inilah yang menghantarkan lahirnya pagang gadai, yaitu sebuah akad dengan tiga transaksi. Motif awalnya adalah akad pinjam meminjam atau hutang uang dan akad gadai. Guna bisa dimanfaatkan, objek gadai tersebut dibunyikan akad jual beli atau sewa menyewa dengan tenggang waktu. Pada waktu yang telah dijanjikan, hutang dikembalikan dan sekaligus objek gadai kembali pula dan seakan berlaku akad awal yaitu rahn karena ada hutang. Ini logika sebagian ulama (agamawan) termasuk Nasrun Haroen, sehingga masih terkesan bernuansa akad tabarru’. Oleh karena itu, dalam tulisan Nasrun Haroen akadnya berbunyi: “saya menjual sawah saya kepada engkau seharga Rp.10.000.000,00 selama dua tahun” (2000: 154).
Sedang Syaikh Abdurrahman ibn Muhammad al-Hadramiy tidak menyebutnya sebagai satu akad tiga transaksi. Beliau hanya menyebut akad pagang gadai (bai’al-‘uhdah) saja secara utuh sebagai satu akad khusus tanpa harus menyebut tenggang waktu karena sudah dianggap maklum oleh masyarakat. Proses kemakluman masyarakat inilah yang melatari kebolehan memanfaatkan barang gadai atau bahkan pagang gadai itu sendiri. Minimal ini yang dipegangi oleh al-Qaffal dan ditolak oleh Jumhur (Forum Kajian As-Ilah, tth. : 118). Dan ini sejalan dengan kaidah Ushul Fiqh bahwa mâ warada bihî asy-asyar’u mutlaqan walâ dhâbitha lahû fîhi walâ fil-lughati yurja’u fîhi ilâ al-‘urfi yang salah satu contohnya adalah bai’ al-mu’athah (sistem swalayan) yang diperbolehkan oleh an-Nawawi dan tidak diperbolehkan oleh Jumhur Syafii (Abdul Hamid Hakim, 1927: 61) . Lihat pula pada tema yang sama pada karya beliau, Mabâdî Awwaliyyah.
Di belahan dunia Islam yang lain sebenarnya juga banyak praktek pagang gadai dengan nama beragam. Bai’ al-‘Uhdah adalah praktek pagang gadai yang secara umum berlaku pada masyarakat Hadramaut Yaman. Sedang di Mekkah juga berlaku praktek serupa yang mereka sebut dengan Bai’ an-Nâs atau di tempat lain dengan nama Bai’al-‘Uddah wal-Amânah (Al-Saqaf, As-Sayyid Alwi ibn As-Sayyid Ahmad, tth.: 226) . Di Bukhara dan Balkh yang banyak bermazhab Hanafi biasa mempraktekannya dengan nama Bai’ al-Wafâ’ (Nasrun Haroen, 2000: 155). Di Jawa pada komunitas tertentu juga berlaku praktek ini yang mereka kenal dengan sebutan adhol sende (Lajnah Ta’lif Wan Nasyr NU, 2005: 29). Praktek tersebut kendati tidak ada dasar yang pasti dari Alquran dan Sunnah (akad ghairu musamma), namun kalangan ulama membolehkannya karena sudah menjadi kebiasaan umum dalam beberapa komunitas dan cukup memberikan kemudahan dan kemaslahatan bagi mereka sebagai wujud akad dan transaksi investasi (al-bai’). Oleh karena itu, orang Mekkah menyebut dengan nama Bai’ an-Nâs, pagang gadai yang sudah menjadi tradisi milik masyarakat (an-nâs) umum.
Di antara ulama yang membolehkan praktek ini adalah Imam Najmuddin an-Nasafi (461-573 H.) ulama terkemuka mazhab Hanafi di Bukhara yang mengatakan bahwa praktek ini dijalankan dalam rangka keluar dari riba. An-Nasafi terkesan sebagai pendukung kebolehan hîlah dalam hukum ini. Justifikasi kebolehan Hanafi tentang praktek ini adalah murni karena istihsân ‘urfiy, yaitu karena sudah sekian lama menjadi kebiasaan masyarakat (Nasrun Haroen, 2000: 155-156). Pandangan serupa juga disampaikan oleh Syaikh Abdurrahman ibn Muhammad al-Hadramiy dari kalangan mazhab Maliki di Hadramaut yang wafat pada 440 H. Menurut beliau, hukum asal apa yang kita kenal dengan jual beli tempo atau jual beli berjangka adalah sah. Menurutnya, jual beli itu tidak sah bila disyaratkan dalam akad harus dikembalikan lain waktu dan ini berlawanan dengan syarat umum jual beli yaitu dawâm wa istimrâr al-milki (munâqidhun limuqtadhayâtil-‘aqdi). Untuk itu, dalam jual beli tempo kesepakatan pengembalian tidak perlu dibunyikan dalam akad. Ulama hanya berbeda tentang apa hukum menepati janji itu ? Dan ternyata Imam Malik berpendapat wajib. Demikian juga Imam Taqiyuddin al-Subki dari kalangan Syafiiyyah (Forum Pembukuan Bahtsul Masail, 2005: 77). Dalam Perkembangannya, Praktek ini diterapkan untuk seluruh wilayah kekuasaan Turki Usmani melalui Majallatul-Ahkâm Al-Adliyyah yang berorientasi pada mazhab Hanafi. Lewat Al-Qânûn al-Madani as-Suri, bai’ al-wafâ’ juga diberlakukan di Syria, demikian juga di Mesir sebelum akhirnya keduanya menghapuskannya dari undang-undang mereka (Nasrun Haroen, 2000: 156-157). Di antara pendukung pandangan ini dari kalangan ulama kontemporer adalah Mustafa Ahmad Az-Zarqa dan Muhammad Abu Zahrah. Selain mereka, umumnya para ulama menolak praktek bisnis tersebut karena memandangnya sebagai riba, prakteknya munâqidhun limuqtadhayâtil-‘aqdi dan tidak menyetujui adanya hîlah dalam hukum. Imam asy-Syafii dikenal sebagai yang menolak praktek bisnis ini. Dalam pemikiran penulis, ada penetrasi pemikiran mazhab Hanafi ke Minangkabau yang sudah berlangsung sekian lama meski secara umum nusantara ini bermazhab Syafii.
Tapi, yang mesti menjadi perhatian kini adalah apakah nilai kemaslahatan pagang gadai masih dapat dirasakan oleh komunitas pemakainya? Di mana posisi sesungguhnya pemilik tanah di Minangkabau dalam konteks adat ? Apakah selama ini praktek pagang gadai sudah dilakukan sendiri oleh sang pemilik hakiki ? Apakah orang Minangkabau sudah memikirkan ekses pagang gadai terhadap identitas adat dan kesukuannya ? Apakah posisi penguasaan dan pemilikan tanah di Minangkabau tidak carut marut dengan adanya pagang gadai ? Berapa hektar tanah yang belum kembali ke pemiliknya karena tidak bisa ditebus ulang hingga ke masa anak keturunannya ? Bagaimana proses pencatatan akad selama ini ? Bukankah gadai itu diberlakukan di saat tidak ada pihak yang bisa ditunjuk untuk mencatatnya ? Berapa banyak lagi kasus tanah yang harus diselesaikan di Pengadilan ?
Makalah ini memang hanya menyisakan banyak pertanyaan yang harus dijawab sendiri oleh komunitasnya. Dan pertanyaan itu pada dasarnya adalah jawaban penulis atas berbagai persoalan pagang gadai di Minangkabau yang teramati selama ini. Jika pernyataan dalam pertanyaan itu benar, maka praktik ini sesungguhnya telah keluar dari koridor pagang gadai yang dipandang boleh oleh para ulama. Artinya, pagang gadai tetap sah sejauh persoalan dalam pertanyaan tersebut mampu diselesaikan sendiri oleh para pelakunya di ranah Minang ini. Dan bila ini bisa diselesaikan, tidak tertutup kemungkinan fiqh dengan identitas lokal bisa diwujudkan di sini. Atau pergeseran yang tengah terjadi dalam hal tanah dan hal-hal yang terkait dengannya memang sudah saling disetujui dan bisa dijadikan kesepakatan baru sehingga diperlukan fiqh sosial baru pula ?
Dalam konteks kekinian, digelarnya berbagai diskusi tentang ini pada dasarnya merupakan wujud kepedulian semua pihak untuk tidak terjebak dalam riba (pagang gadai) yang merupakan dosa besar. Hal ini perlu diberikan apresiasi positif tanpa harus mengurangi kekritisan berpikir. Namun, yang penting diingatkan dalam praktek pagang gadai adalah, sejauh masih menggunakan nama pagang gadai yang merupakan adopsi langsung kata rihân maqbûdhah, maka sudah sesuai dengan petunjuk syara’ secara kebahasaan. Tapi, ketika maunya ini (bai’ al-‘uhdah, bai’ an-nâs, bai’ al-‘uddah wal-amânah, atau adhol sende) dengan tetap menggunakan bahasa dan ungkapan itu (pagang gadai), ini baru tema aktual yang layak diperbincangkan dalam masalah akad muamalah menurut fiqh. Tapi, ternyata Imam Malik, Ibnu Taimiyyah, Al-Kasani, Ibnu Qayyim membolehkan ungkapan yang sedemikian sejauh bisa saling dipahami maksud dan maunya oleh komunitas pelakunya. Bahasa fiqh yang mereka gunakan adalah: “Jawâzu in’iqâdi al-‘aqdi bikulli lafdzin ta’awwadan-nâsu in’iqâda al-‘aqdi bihi” (Abdul Hamid Mahmud al-Ba’liy, tth.: 95)
Dan sebenarnya, seperti yang sudah diurai sebelumnya, kepedulian yang sama sudah dilakukan oleh ulama-ulama terdahulu dan mereka telah menetapkan pilihannya tanpa mengintervensi pilihan orang lain. Dan harapannya, forum ini adalah benar-benar untuk memastikan pilihan masing-masing atau bersama yang akan segera diambil, bukan untuk menteror pilihan orang lain. Ya, masing-masing sudah memiliki dasar dan kerangka berpikirnya. Jawab saja terlebih dahulu pertanyaan-pertanyaan penulis di atas baru kita bangun lagi diskusi terbaru yang lebih mutakhir. Karena pertanyaan-pertanyaan tersebut penulis anggap sebagai yang akan bersentuhan langsung dengan sendi-sendi kemanusiaan dan kemaslahatan yang menjadi tujuan syara’ itu sendiri. Artinya, agar pelaksanaan pagang gadai kini tetap berjalan sesuai syara’, maka hal-hal madharat, sengketa, pelanggaran, dan keluarnya pagang gadai dari konsep awal yang syar’i di Minangkabau harus diminimalisir tanpa harus mengaitkan pelarangannya pada alasan riba dalam pemanfaatannya atau menganggapnya sebagai hîlah belaka. Contoh konsep awal pagang gadai di Minangkabau yang sesuai syara’ adalah pengambil manfaat awal adalah pemilik barang gadai meski pemegang gadai juga berpeluang untuk itu setelah ada izin dari pemilik (Lihat, Monografi Hukum Adat Daerah Sumbar, 1993, 577-578).
Bukan tidak ada maksud nenek moyang orang Minangkabau untuk melarang adanya bisnis jual beli tanah atau bahkan pagang gadai. Semua dilakukan dalam rangka memelihara eksistensi mereka dan keberlangsungan generasi keturunannya. Tanah adalah identitas simbolik yang unik dalam adat Minangkabau. Ketika konsep pertanahan awal ini hilang, maka akan hilang pula identitas lokal Minangkabau yang sebenarnya bisa membawa rasa percaya diri dan wibawa kesukuan para penghuninya. Banyak anggapan bahwa pagang gadai kini banyak mendatangkan madharat tersendiri bagi orisinalitas adat masyarakat dan suku Minangkabau. Meski demikian, pada sisi yang lain, sikap filantropis suku ini dalam bidang tanah juga bisa dilihat wujudnya, yaitu dalam bentuk numpang karang atau hibah bagi para pendatang atau yang tidak memiliki tempat tinggal. Nampaknya, yang terakhir ini telah sejalan dengan konsep bahwa tidak ada kepemilikan mutlak atas tanah secara individual karena tanah akan sulit atau tidak mungkin dikembangkan. Dalam pemikiran fiqh, tanah seperti uang, tidak diperkenankan adanya perolehan nilai tambah kecuali melalui pengolahan langsung, bukan dengan jalan dihutangkan, disewakan, atau dibagihasilkan karena ia merupakan alat produksi yang cukup vital. Wahbah az-Zuhaili (1989: 630-631) menjelaskan bahwa Hanafiyah dan Zufar tidak membolehkan adanya berbagai bentuk kerjasama dalam pertanian seperti muzâra’ah dan musâqah berdasarkan pada hadis Nabi saw. Tanah adalah alat produksi pada masyarakat bisnis agraris, sedangkan uang adalah alat produksi masyarakat bisnis industrialis. Tanah dan uang haruslah dikelola dan difungsikan terus menerus, tidak boleh ditumpuk. Keharusan ini tidaklah akan berjalan dengan baik kecuali pemilik yang tidak bisa menjalankan fungsinya dengan baik selalu memberikan kesempatan selebar-lebarnya kepada orang lain untuk memfungsikan tanahnya tanpa meminta bagian, apalagi bayaran (Masdar F. Mas’udi, 1993: 167-174). Mana yang hendak dituju, kembali ke orisinalitas konsep orang Minangkabau awal atau mengakui dan sekaligus mengikuti trend bergeseran yang tengah terjadi ? Penulis rasa, fiqh telah memberikan penawaran yang cukup ideal untuk masing-masingnya bukan ?

E. PENUTUP
Demikian tulisan ini disampaikan dalam rangka memperoleh jalan terang tentang pagang gadai dalam perspektif fiqh. Nampaknya, penulis berkecenderungan bahwa dalam konteks kini, pagang gadai tetap sah sejauh ada ketegasan motif akadnya antara akad tabarru atau akad investasi. Hal ini jelas akan sulit dipisahkan dan didudukkan mengingat sistem tanah di Minangkabau adalah milik komunal, bukan milik individual. Bisa jadi, ini adalah akad yang unik dan tinggal satu-satunya di dunia ini. Terlepas dari itu semua, pada keduanya, objek gadai berpeluang untuk dimanfaatkan baik oleh pemilik maupun penggadai. Alasan penolakan pemanfaatan barang gadai karena dianggap riba sulit diterima logika mengingat kehadiran dalil riba jauh di akhir-akhir tahun kenabian, sedang dalil gadai telah hadir lebih dahulu dibanding dalil riba, yaitu pada awal hijriyyah dan membolekan pemanfaatannya.
Semoga ini menjadi salah satu tulisan yang akan diiringi oleh tulisan-tulisan lain guna mendudukkan secara cermat apa, mengapa, dan hendak ke mana pagang gadai ini diarahkan sesuai proporsi yang sebenarnya.

Batusangkar, 27 Desember 2007
Iza H. ‘D2n