selamat bersilaturrahmi dengan LINKAN ARA

Sabtu, 13 September 2008

ANALISIS FIQH TERHADAP PRAKTIK PAGANG GADAI


Oleh: Iza Hanifuddin, M. Ag.


A. PENDAHULUAN

Falsafah adat bersendi syara’, syara’ bersendi kitabullah benar-benar telah memposisikan Sumatera Barat sebagai wilayah yang dipandang sarat dan kental nuansa keislamannya dan seakan telah merasuk dalam setiap lini kehidupan sosialnya. Bahkan, predikat wilayah serambi Mekkah juga sudah begitu melekat dalam berbagai pembicaraan yang seakan tengah mensejajarkannya dengan Aceh Darussalam. Oleh karena itu, berbagai pengkajian soal Sumatera Barat sulit sekali untuk dilepaskan dari penglihatan sisi keislamannya. Hampir saja tema sosial yang lahir dari negeri ini adalah Islam itu sendiri.
Tanah sebagai sebagai salah satu pendukung sosialnya juga tidak terlepas dari pengkajian pakar dalam perspektif Islam. Muchtar Naim telah mengawalinya pada tahun 1968 dan mendudukkan masalah ini. Pada masa-masa berikutnya, interaksi masyarakat adat Minangkabau dengan tanahnya dalam konteks tanah sebagai objek bisnis juga tidak luput dari pengkajian orang. Pagang gadai adalah tema yang paling sering dibahas orang karena sampai kini praktek tersebut masih tetap eksis diterapkan orang. Tulisan ini hanyalah pengulangan dari berbagai tulisan dengan pendekatan fiqh.
Fiqh sengaja dijadikan media analisis karena sifat fleksibilitasnya yang selalu bisa menjangkau praktek dan praksis masyarakat penggunanya. Dan biasanya, corak keberagamaan sebuah masyarakat salah satunya diukur dari pelaksanaan fiqh sosialnya. Apalagi, seperti di awal disampaikan bahwa nuansa keislaman masyarakat ini adalah begitu kental hingga masuk ke wilayah adatnya.
Banyak interaksi yang dilakukan oleh masyarakat Sumatera Barat yang dikenal sebagai suku Minangkabau terhadap tanahnya. Interaksi tersebut dimulai dari sejarah asal suku Minangkabau, batas wilayah yang masuk dalam kategori bersuku Minangkabau, interaksi penguasaan tanah, interaksi kepemilikan tanah, proses dan bentuk pewarisan tanah, hingga ke persoalan tanah sebagai objek bisnis seperti sewa, bagi hasil, pagang gadai, dan numpang karang. Belakangan ini, interaksi mereka sudah lebih mendalam lagi hingga ke persoalan konflik pertanahan dan proses penyelesaiannya di KAN (Kerapatan Adat Nagari) dan atau di Pengadilan Negeri, bahkan hingga ke Mahkamah Agung. Hal ini terjadi karena pada umumnya tanah di sini berstatus tanah ulayat.
Salah satu bentuk interaksi mereka dalam bisnis dengan tanah sebagai objeknya adalah pagang gadai. Pagang gadai benar-benar telah merambah ke wilayah tanah ulayat yang semestinya dalam adat berada dalam penguasaan komunitas, bukan pribadi. Bagaimana ini semua bisa terjadi dan terlaksana? Apa konsepsi masyarakat awal tentang membisniskan tanah ulayat dalam pagang gadai dan bagaimana perkembangannya kemudian ? Apakah hal yang telah dan sedang terjadi bisa dipandang sebagai fiqh yang beridentitas lokal Minangkabau ? Dalam tulisan ini akan dicoba diurai semaksimal mungkin.

B. TANAH DI MINANGKABAU
Dalam banyak suku, tanah merupakan inti simbolitas keberadaan komunitas tersebut. Tanah akan melekat dengan suku yang mendiaminya seperti tanah Jawa, tanah Sunda, tanah Minang. Ranah Minang salah satunya juga dapat dimaknai dengan tanah Minang dalam berbagai aspeknya. Istilah bakampung banagari, bakorong bajurai adalah wujud interaksi orang Minang dengan tanahnya. Interaksi ini menandakan betapa strategisnya posisi tanah bagi komunitas yang menguasainya.
Pada awal peradaban, tanah lebih dekat sebagai simbol kekuasaan (wilayah) daripada simbol kekayaan individual. Alquran sendiri menyitir anak, istri, perhiasan dari emas dan perak, ternak dan kuda perang sebagai simbol kekayaan serta memposisikan harta dengan anak sebagai sejajar dalam ayat lainnya. Peradaban serupa juga terjadi di Minangkabau. Bahkan, seiring munculnya nilai tanah sebagai harta dengan wujud merebaknya kepemilikan tanah oleh individual melalui pengaplingan, di Minang dengan sistem adat matrilinelnya, tanah tidak bisa dimiliki atau dikapling oleh individu tapi dikuasai oleh komunal. Perempuan selain sebagai punjer keturunan atau nasab kesukuan, mereka juga sebagai pihak yang memiliki fungsi strategis dan prioritas sebagai pemegang hak milik, hak pakai, waris dalam tanah ulayat dan limpapeh rumah gadang (Afrizal, 2002: 95). Kendati berada dalam kekuasaan perempuan, tapi tanah tidak bisa diperjual belikan dan bila terjadi, maka akan menjadi aib bagi suku yang melakukannya. Tanah seharusnya tidak terjual pada orang asing di luar suku. Jual beli itu pun akan dilakukan dengan sangat alot sekali karena harus melalui persetujuan semua pihak baik kaum perempuan maupun laki-laki tanpa terkecuali. Jadi, di saat banyak bangsa sudah memberlakukan kepemilikan individual atas tanah, di Minangkabau masih mempertahankan kepemilikan komunal demi kemaslahatan masa depan anak-anak dan kemenakan dalam satu suku dan kaum (Jurnal Antropologi, 2002: 138). Pengaturan tanah secara adat ini telah memposisikan tanah di Minangkabau ini sebagai tanah ulayat.
Sekarang ini sudah terjadi pergeseran yang sangat tajam terkait dengan fenomena tanah di Minangkabau. Penguasaan perempuan atas tanah sudah banyak diintervensi oleh para mamak yang semuanya laki-laki dan tidak jarang dijual secara sepihak oleh mamak dengan dalih sebagai penghulu suku atau kaum. Pembagian waris dengan sistem apapun juga turut mempengaruhi pola kepemilikan komunal menjadi individual sehingga dikenal pusako tinggi dan pusako rendah. Apalagi jumlah anggota kaum makin banyak. Penggunaan tanah sebagai lokasi pembangunan rumah baru bagi perempuan juga memungkinkan terjadinya distribusi tanah yang makin mengecil dan individualistik. Konflik suku tentang adat juga mendorong adanya tuntutan pembagian tanah menjadi dua bagian suku yang berkonflik. Pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah menuntut adanya penguasaan asset tanah untuk kepentingan umum sering terjadi sangat rumit dalam duduk basamo untuk baiyo batido. Ini barangkali juga menjadi faktor penghambat pembangunan sarana prasarana di Sumatera Barat.
Seiring dengan tercabik-cabiknya tanah, tercabik-cabik pula hubungan kekebaratan. Dulu kekerabatan di Minang ini lebih bersifat extended family dengan rumah gadang sebagai basis pendidikan usia dini bagi para anak dan kemenakan. Kini, kecenderungan telah berubah menjadi keluarga inti/keluarga batih di mana urang sumando (bapak) telah menggeser peranan mamak. Dan akhirnya, sistem kekerabatan matrilineal secara utuh dirasa dapat dipertanyakan eksistensinya. Kini, sistem matrilineal kelihatannya hanya berfungsi untuk menunjuk trah nasab. Selain ini, hampir-hampir tidak memiliki fungsi dan tidak memberi pengaruh apa-apa.
Belakangan, konflik soal tanah yang semestinya dapat diselesaikan di tingkat suku atau kaum melalui musyawarah para mamak atau melalui KAN (Kerapatan Adat Nagari) ternyata sebagian besar justru diselesaikan melalui meja hijau Pengadilan Negeri. Bahkan, 80% kasus perdata di Pengadilan Negeri di Sumatera Barat ini adalah kasus konflik tanah (Zulkarnain Harun, 2002: 35).
Praktik pagang gadai atas tanah menjadi sesuatu yang dilematis. Di satu sisi tanah tidak boleh diperjualbelikan, di sisi lain adat membolehkannya dengan syarat yang sangat ketat. Kendati syarat ini berisyarat larangan menggadaikan tanah, dalam praktiknya pagang gadai tetap saja berjalan. Tidak diketahui secara pasti kapan praktek pagang gadai dimulai di Minangkabau ini.
Kini, persoalan pagang gadai atas tanah masih belum ada datanya, berapa hektar tanah di Sumatera Barat yang masih dalam status gadai. Dan efek dari adanya kepemilikan individu, pagang gadai sangat begitu mudah dilakukan tanpa harus melalui prosedur yang rumit. Bila ini dibiarkan, jelas akan menambah daftar problema tanah di ranah Minang ini meski hal ini terjadi antaro awak samo awak. Wibawa adat, suku, dan kaum akan hilang begitu saja ketika simbol-simbol penyokongnya secara perlahan terkikis.

C. PROSES KESEJARAHAN PRAKTIK PAGANG GADAI
Konon, praktik pagang gadai di Minangkabau ini sudah terjadi jauh hari sebelum Islam datang. Kendati demikian, penulis masih meragukan ini mengingat masih begitu luasnya tanah saat itu yang tidak sebanding dengan jumlah penduduknya yang masih sedikit. Motif apa yang harus dibangun untuk menunjukkan bahwa pagang gadai sangat diperlukan saat itu. Motif ekonomi mungkin saja bisa digunakan sebagai alasan diberlakukan pagang gadai. Hanya saja, sesuai konteks kepemilikan tanah di Minangkabau yang bercorak komunal yang sangat kental pastinya saat itu, alasan ini jelas sangat sulit diterima karena akan terjadi penolakan dalam komitmen adat dan kesukuan. Selain itu, masih banyak objek fakultatif lainnya yang dapat digunakan sebagai pemenuhan ekonomi mendesak selain tanah seperti ternak, buah, dan tanaman.
Dari namanya, pagang gadai dimungkinkan kemunculannya justru saat Islam datang ke ranah Minang ini. Karena bahasa ini merupakan adopsi langsung dari terjemahan rihânun maqbûdhah dalam surat Al-Baqarah 283. Kendati gadai merupakan budaya banyak bangsa, namun gadai tanah merupakan hal yang baru dalam peradaban budaya bangsa. Penulis yakin bahwa di Minangkabau ini pada awalnya tidak pernah berlaku gadai atas tanah atau yang disebut pagang gadai itu. Pagang gadai hanya berlaku pada barang-barang bergerak (manqûl). Hal ini didasarkan pada kepemilikan tanah yang bersifat komunal di negeri ini. Status tanah di sini mirip seperti milik negara kecil Minangkabau yang tentu proses pemindahan dan penguasaannya pun harus melalui prosesi adat Minangkabau yang begitu alot dan rumit.
Dalam berbagai tulisan tentang adat Minangkabau, Pagang gadai di dilakukan dengan syarat yang sangat ketat dan dalam rangka menjaga prestise atau menutup malu kesukuan, yaitu ketika rumah gadang katirisan, gadih gadang alun balaki, mayik tabujua di tangah rumah, dan adaik indak badiri (mambangkik batang tarandam). Perkembangan kini, pagang gadai telah keluar dari syarat ketat tersebut seperti untuk berobat, makan, pendidikan, menutupi ketekoran dagang, melamar pekerjaan, dan ongkos naik haji (Sofjan Asnawi, tth.: 141, Zulkarnain Harun, 2002: 38). Kendati kedua masa itu sangat bersifat konsumtif, namun nuansa tolong-menolong dalam konteks komunal keadatan masih lebih terasa dalam masa awal karena orisinalitasnya. Kini, karena keterdesakan ekonomi, biasanya orang akan segera menggadaikan tanah tanpa melihat perbandingan nilai kesuburan tanah dengan nilai pinjaman uang yang diberikan, yang penting dapat uang. Bila tidak terdesak, penyewaan tanah lebih diminati. Syarat yang ketat dalam adat di atas semestinya dipahami sebagai isyarat abstrak adanya pelarangan gadai tanah di Minangkabau.
Dalam perkembangannya, pagang gadai berubah nama menjadi jual beli ta’liq (Sofjan Asnawi, tth.: 144) yang disinyalir adalah hasil dari proses kesepakatan adat dan syara’ dalam falsafah adaik basandi syarak, syarak basandi kitabullah, syarak mangato adaik mamakai. Namun, pastinya ini hanya perubahan nomenklatur alias bungkusnya saja dengan praktek dan isi yang sama persis dengan pagang gadai sebelumnya. Ini adalah hasil dari proses Islamisasi pagang gadai. Artinya, ada fase pagang gadai yang sesuai dengan Alquran, yaitu gadai untuk harta bergerak, fase pagang gadai atas tanah, dan fase Islamisasi pagang gadai berganti nama jual beli ta’liq dengan isi yang sama. Pada Fase terakhir ada yang janggal, yaitu pada kata “jual beli” ta’liq (tanah) yang secara adat hampir tidak ada referensinya karena tanah di Minangkabau pada dasarnya tidak bisa diperjualbelikan. Oleh karena itu, sampai saat ini yang masih berlaku adalah pagang gadai dan nyaris tak terdengar jual beli ta’liq atau apa pun meski prakteknya adalah itu ke itu juga. Di tempat lain di Minangkabu ini, pagang gadai disebut dengan bahasa siliah jariah dengan konsep pemegang gadai masih akan tetap memanfaatkan tanah sampai jariah (upah jerih payah) mengelola tanah tersebut dikembalikan. Upah jariah yang dimaksud adalah uang yang dipinjam oleh pemberi gadai (Lihat, Monografi Hukum Adat Daerah Sumbar, 1993, 577-578).
Dalam rangka menghindar dari peraturan UUPA tahun 1960, di mana praktek gadai tanah yang terlalu lama dan berkepanjangan masa pengembaliaannya harus diselesaikan dalam masa tujuh tahun setelah UUPA itu diberlakukan, maka masyarakat Minangkabau menjalankan praktek gadai dengan nama baru tapi berformat lama yaitu, pinjam meminjam atau salang bapasalang. Satu meminjamkan uang dan yang lain meminjamkan tanah (Sofjan Asnawi, tth.: 140). Dan ini adalah cadiaknyo orang Minangkabau untuk tetap bisa berinteraksi dengan pagang gadai dengan hîlah yang dibangun oleh komunitas adat yang hampir tidak ada rujukannya dalam kitab-kitab fiqh. Dan setelah lama undang-undang itu diberlakukan, nyatanya pagang gadai masih saja dipakai secara bulat-bulat hampir tidak mereka rasakan madharatnya.

D. ANALISIS FIQH ATAS PRAKTIK PAGANG GADAI
Pagang gadai diyakini sebagai gadai biasa pada objek-objek harta bergerak (manqûl) pada awalnya. Namun, seiring dengan dominasi mamak, munculnya kepemilikan individu, atau penguasaan dominatif oleh perempuan atas tanah, pagang gadai pun berlaku untuk tanah (‘uqqâr).
Pagang gadai adalah terjemahan langsung dari Rihân Maqbûdhah yang dijadikan dasar diperbolehkannya gadai dalam Alquran surat Al-Baqarah 283. Semua kitab fiqh umumnya menyebut dengan ar-rahn saja. Kebolehan ini didukung pula oleh praktik Nabi saw yang menggadaikan baju besinya untuk pinjaman konsumtif beliau (HR. Ahmad, Bukhari, Nasai, dan Ibnu Majah). Tidak diperoleh informasi apakah gadai tanah juga pernah terjadi pada masa itu. Baik Alquran dan Sunnah mengisyaratkan adanya gadai pada barang bergerak saja.
Kendati sebagian ulama (Dhahiri) mensyaratkan gadai/rahn boleh bila dalam keadaan bepergian, tapi secara umum ulama membolehkan praktik Ar-Rahn ini tanpa memandang keadaan, dan nyatanya gadai yang dilakukan Nabi saw sendiri dalam posisi tidak dalam bepergian. Ar-Rahn pada dasarnya adalah akad tabarru’ lit-ta’âwun (tanpa pamrih dengan motif tolong menolong) sebagai jaminan adanya hutang piutang. Karena prinsipnya adalah tolong menolong, maka tidak boleh mengambil keuntungan sedikitpun dari akad tersebut, termasuk pemanfaatannya. Penambahan keuntungan dari akad tersebut termasuk dalam kategori riba. Ini adalah logika yang dikembangkan dari konsep tabarru’. Hanya saja, ada hadis yang menjelaskan bahwa ketika rahn itu berupa binatang, maka boleh saja pemegang rahn memanfaatkannya untuk dikendarai atau diambil susunya sejauh si pemegang rahn menjalankan fungsi pemeliharaan dan perawatan (nafaqah) (HR. Bukhari, Tirmidzi, Abu Dawud dari Abu Hurairah). Ulama hanya berselisih soal apakah diperlukan izin dari si pemilik binatang rahn atau tidak. Namun, mereka sepakat membolehkan memanfaatkan rahn tersebut sebatas nafkah yang diberikan. Hal ini wajar dilakukan karena bila binatang itu dibiarkan saja maka jelas akan menimbulkan penyiksaan (al-îdzâ’) yang dilarang dalam agama. Prinsip pemanfaatan ini adalah untuk mempertahankannya agar tetap hidup dan tetap berstatus harta (hifdzun lil-hayâti wa ibqâul-mâl) (Lihat CD. Program Hadis “Mausû’ah al-Hadîs asy-Syarîf al-Kutub at-Tis’ah Versi 2.00 dalam tema rahn). Ini seakan seperti upah atau ganti rugi yang seimbang atas apa yang telah diupayakannya. Dan yang pasti, dalam konteks binatang ada kebolehan memanfaatkan yang disampaikan lewat hadis dengan syarat adanya nafaqah. Pandangan ini dipegangi oleh Imam Ahmad, Ishak, al-Laits, dan al-Hasan (H. Hendi Suhendi, 2002: 108). Dalam konteks baju besi, terdapat keumuman hadis yang mengisyaratkan juga harus dimanfaatkan, yaitu barang gadai tidak boleh ditutup pemanfaatannya oleh sang pemilik, baginya (manfaat/keuntungannya/al-ghunmu) dan kewajibannya (membayar hutangnya/al-ghurmu). Dalam tafsir yang lain, bagi yang mengelola (alghurmu) berhak mendapatkan manfaatnya (al-ghunmu) (Lihat CD. Program Hadis “Mausû’ah al-Hadîs asy-Syarîf al-Kutub at-Tis’ah Versi 2.00 dalam tema rahn). Kedua hadis tersebut mengisyaratkan kebolehan pemanfaatan barang gadai, baik oleh pemilik barang gadai atau pemegang gadai. Artinya, keduanya memiliki peluang yang sama untuk memanfaatkannya. Tidak ditemukan hadis yang mengaitkan pemanfaatan barang gadai sebagai riba dalam literatur fiqh sekalipun dalam kitab fiqh Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqhul-Islâmiy Wa Adillatuh. Abdul Hamid Hakim (1932: 64-65) mungkin sebagai salah satu penulis yang memasukkan hadis larangan pemanfaatan barang gadai karena berunsur riba dengan bunyi arti: “Ketika seekor kambing digadaikan, pemegang gadai boleh meminum susunya sebanyak (kantung/’alaf) susuan (berdasar biaya perawatannya). Bila berlebih dari delapan kantung susu maka sudah termasuk riba”. Beliau tidak memberi penjelasan dan keterangan apa-apa tentang hadis ini. Bahkan, beliau terkesan membolehkan tanah gadai dimanfaatkan oleh pemegang gadai dengan dalih bahwa tidak semua transaksi itu harus lahir dari akad yang sah tapi juga bisa lahir dari izin dan ridha meski berdasarkan kebiasaan masyarakat (‘urf).
Wahbah az-Zuhaili (1989: 253-255) secara tegas melarang membiarkan barang gadai. Barang gadai wajib dimanfaatkan saat digadaikan, karena bila tidak, dipandang akan menghilangkan nilai/manfaat harta (tadhyî’un lil-mâli). Hanya saja, siapa yang harus memanfaatkan, penggadai atau penerima gadai ? Dalam Penjelasannya, Jumhur ulama (Hanafiyah, Hanabilah) melarang pemilik barang gadai untuk memanfaatkan barang gadai kecuali ada izin dari pemegang gadai karena hak menahan barang gadai itu selamanya ada pada pemegang gadai. Bahkan, Malikiyyah lebih tegas lagi melarang pemanfaatan tersebut oleh pemilik meski ada izin dari pemegang gadai dan memandang bahwa izin tersebut akan membatalkan akad gadai. Syafi’iyyah saja yang membolehkan pemilik gadai untuk memanfaatkan barang gadai pada konteks yang tidak mengurangi (naqshu) objek gadai seperti memanfaatkan barang gadai sebagai kendaraan, kerja, dan mengangkut barang (binatang), pakaian (baju besi), membacanya (buku), dan tempat tinggal (rumah). Tapi, bila pemanfaatan tersebut mengurangi nilai barang gadai seperti pembangunan gedung dan pengambilan hasil tanaman pada tanah yang digadaikan, maka tidak boleh.
Hanafiyah membolehkan pemegang gadai untuk memanfaatkan barang gadai setelah ada izin pemilik barang gadai. Karena hak pemegang hanya untuk menahan bukan hak untuk memanfaatkan. Namun, sebagian Hanafiyah (Ibnu Nujaim al-Hanafi) tetap melarangnya dengan alasan riba atau mirip riba. Malikiyyah (Dardiri dan Dasuki) membolehkan pemegang barang gadai (pada jual beli/mu’awwadhat bukan hutang piutang) untuk memanfaatkannya dalam waktu terbatas setelah ada izin. Mereka juga menisbatkan pada adanya riba. Syafiiyyah melarang pemegang gadai untuk memanfaatkan barang gadai dengan dasar hadis bahwa hak manfaat ada pada pemilik barang gadai (lâ yughlaqu ar-rahnu…). Tapi, Syafiiyyah membolehkan pemanfaatan barang gadai jual beli bagi pemegangnya. Hanabilah membolehkan pemanfaatannya sejauh ada izin pemilik dan ada pengganti (iwadh). Tanpa ini, sama dengan riba. Namun, bila tidak ada izin masih tetap boleh memanfaatkan sebesar nilai hutang yang dipinjamkannya. Sedang pemanfaatan pada binatang dibolehkan sesuai dengan hadis (Wahbah az-Zuhaili, 1989: 256-259).
Secara umum, jumhur ulama tetap bertahan pada ketidakbolehannya memanfaatkan barang gadai apa pun karena setiap penambahan yang diakibatkan oleh hutang piutang adalah riba sebagaimana hadis riwayat Haris bin Abi Usamah (H. Hendi Suhendi, 2002: 108). Bagi Jumhur, izin pemilik rahn tidak diperlukan karena ini menyangkut riba dan izin tersebut tidak dapat merubah haramnya riba menjadi halal.
Meski demi kehati-hatian soal riba sehingga sebagian besar ulama memandang izin pemanfaatan oleh pemilik tidak berpengaruh apa-apa, namun, Mahmud Syalthut masih tetap sejalan dengan pemikiran sebahagian Hanafiyah bahwa izin tersebut dapat memberi pengaruh sejauh izin yang diberikan itu dengan penuh ikhlas, ridha, dan tulus, bukan karena keterpaksaan karena kekhawatiran tidak mendapat pinjaman hutang (M. Ali Hasan, 2004: 258). Izin diperlukan karena objek rahn akan mubadzir bila tidak dimanfaatkan, sedang al-ibdzâr termasuk hal yang dilarang dalam Islam.
Dalam konteks lain, ada hadis yang menjelaskan bahwa kendati penguasaan objek rahn ada pada pemberi piutang, namun orang yang berhutang tidak boleh dihalang-halangi untuk memanfaatkan objek rahn tersebut (HR. Hakim, Baihaqi, dan Ibnu Hibban dari Abu Hurairah). Tindakan menghalang-halangi pemilik dari memanfaatkan barangnya secara sendiri disinyalir akan menimbulkan kemungkinan pemanfaatan barang rahn secara sepihak tanpa sepengetahuan pemilik. Dan ini jelas akan menimbulkan perilaku riba hutang (duyûn/nasîah) di mana ada pihak yang mau mencari keuntungan dibalik hutang (al-ghunmu bil-ghurmi) atau keinginan mendapatkan hasil sekaligus membebankan kepada orang lain sebagai penanggung biaya (al-kharrâju bidh-dhamâni) (Heri Sudarsono, 2005: 15-16). Kendati demikian, dalam hal ini pun ulama ada yang menyangkal bahwa pemilik objek rahn tetap tidak boleh memanfaatkan barang yang telah digadaikannya karena ia adalah jaminan yang berfungsi pengikat adanya hutang piutang.
Karena objek rahn itu lazimnya berada di tangan pemberi piutang, maka tidak lazim dalam masyarakat kita si pemilik memanfaatkan begitu saja. Maka, alternatif yang dapat ditawarkan sebagai bentuk kompromi untuk menghindar dari riba menurut sebagian ulama, atau sebenarnya rebutan pemanfaatan dan ibdzar adalah kedua belah pihak, pemberi piutang dan penerima hutang bersepakat untuk mengelola pemanfaatan objek rahn tersebut secara bersama dan hasilnya dibagi dua sesuai andilnya masing-masing.
Dari uraian di atas tergambar adanya tarik ulur tentang pemanfaatan barang gadai yang berujung pada kesimpulan Wahbah az-Zuhaili di atas bahwa kita dilarang membiarkan barang gadai. Barang gadai wajib dimanfaatkan saat digadaikan, karena bila tidak, dipandang akan menghilangkan nilai/manfaat harta (tadhyîun lil-mâli).
Beberapa alasan yang dapat dikritisi adalah larangan pemanfaatan barang gadai oleh pemegang gadai karena dipandang mengandung unsur riba atau mirip riba. Kritiknya adalah: Ayat tentang gadai (rihân maqbudhah) dan praktek gadai baju besi nabi saw, turun dan terjadi pada akhir-akhir peperangan Nabi saw (tahun awal hijriyyah). Bahkan, hingga wafatnya, baju besi itu pun belum ditebus hingga akhirnya ditebus oleh Utsman bin Affan melalui Ali bin Abi Thalib (lihat CD. Hadis tentang rahn). Dalam hadis tersebut tidak disebut sama sekali larangan pemanfaatan barang gadai, bahkan diperintahkan. Selain itu, juga tidak ada tema hadis yang menyangkut soal riba kecuali yang dinukil oleh Abdul Hamid Hakim. Padahal, ayat tentang riba sendiri turun secara bertahap. Ayat pertama yang menyinggung soal riba turun di Mekkah (Ar-Rûm, 30: 39). Tapi, mufassir Al-Qurthubi mengatakan bahwa riba dalam ayat ini adalah bukan riba yang diharamkan. Ia bermakna “hadiah” atau riba mubah. Tahap berikutnya turun surat an-Nisâ’, 4: 161 yang mengisyaratkan keharaman dan kecaman praktek Yahudi dalam riba. Ayat ini termasuk ayat Madaniyyah. Tahap ketiga adalah turun Surat Ali Imrân, 3: 130 yang mengharamkan salah satu bentuk riba, yaitu adh’âfan mudhâ’afah. Tahap keempat adalah tahap terakhir yang mengharamkan riba secara total, dan ini terjadi antara akhir tahun delapan dan awal tahun sembilan hijriyyah (dalam tulisan Nasrun Haroen, 2000: 182-183 ditulis “abad” bukan tahun). Artinya, logika pengharaman pemanfaatan barang gadai dengan alasan riba sulit diterima karena hadis-hadis tentang itu lebih awal datang dan menyuruh memanfaatkannya, lalu datang ayat-ayat riba yang terjadi jauh setelah itu yang dimaknai tidak boleh dimanfaatkan sama sekali. Jika digunakan logika nâsikh mansûkh, maka akan terjadi pemubadziran aset di mana-mana akibat pemanfaatan barang gadai dilarang oleh ayat riba, dan ini jelas ditentang oleh Alquran dan mencap pelakunya sebagai temannya syetan. Hadis yang dikutip Abdul Hamid Hakim dengan demikian perlu dipertanyakan kedudukan dan validitasnya.
Kembali ke konteks pagang gadai. Dulu, barang bergerak sulit mendorong kecenderungan dan selera orang untuk mengambil manfaatnya saat dijadikan objek gadai. Kini, ketika tanah dijadikan objek gadai, segera muncul selera untuk memanfaatkannya karena memandang akan mubadzir. Hanya saja, konstalasi pemahaman fiqh yang dikembangkan oleh sosialnya nampaknya lebih cenderung kepada pagang gadai secara praktik, bukan tematik qur’ani. Pagang gadai dimaknai sebagai jual beli bergantung, jual berjangka, jual beli tempo, dan sebagainya, bukan lagi gadai. Oleh sebagian besar orang, pagang gadai atau yang semakna dengannya dipandang sebagai rekayasa bisnis (hîlah) untuk menghindar dari riba dengan prinsip saling memberi keuntungan. Anehnya, hampir jarang sekali orang yang memilih alternatif pengelolaan objek gadai secara bersama antara kedua belah pihak dan hasilnya dibagi dua sesuai andilnya masing-masing di atas yang dipastikan tidak berbau hîlah. Atau barangkali strategi ini masih dipandang tidak memenuhi rasa keadilan mengingat objek gadai bisa di-sapaduo-kan sementara objek hutang (uang) tetap dimanfaatkan oleh yang berhutang untuk berbisnis umpamanya tanpa bisa di-sapaduo-kan. Ketika tanah dijadikan objek gadai biasanya nilai pinjaman uangnya juga besar sehingga mengundang kecurigaan bukan hanya untuk konsumtif tapi juga berkemungkinan untuk bisnis produktif. Oleh karena itu, hampir tidak ada fiqh yang mengulas strategi ini.
Tema fiqh yang paling marak justru tentang pagang gadai yang banyak dipraktekkan kini di Minangkabau. Pagang gadai kini bukanlah gadai dulu. Secara latar sosial, pagang gadai dilakukan oleh masyarakat yang berorientasi bisnis cukup tinggi. Minangkabau dikenal sebagai masyarakat pedagang. Hampir setiap sisi sosialnya diorientasikan pada bisnis, termasuk pagang gadai, pitih dagang, dan berbagai akad yang mengiringi perkawinan seperti uang lompat pagar, pitih sesuduit, mahar jual yang mulanya untuk akad tabarru’ (tolong menolong). Dalam pagang gadai hampir-hampir tidak ada yang cuma-cuma dalam berhutang, seakan harus ada konsekuensi yang harus ditanggung kalau mau berhutang. Logika komunikasinya: “Jika uang Rp. 10.000.000,00 di tangan saya ini tidak saya pinjamkan kepada orang lain yang sedang memerlukan, maka dalam setahun akan mendatangkan keuntungan pada saya sekian juta jika saya bisniskan sendiri. Tapi, jika saya minta keuntungan itu dibayarkan kepada saya setelah pokok pinjaman dikembalikan kepada saya, maka ini jelas dan nyata-nyata riba yang diharamkan. Maka, harap maklum sajalah jika tanah yang dijadikan objek gadai atas pinjaman uang Rp. 10.000.000,00 tersebut saya olah dan saya manfaatkan sebagai ganti keuntungan itu. Bukankah anda juga telah memanfaatkan uang tadi dan mendapatkan keuntungan bila anda bisniskan ?”.
Logika inilah yang menghantarkan lahirnya pagang gadai, yaitu sebuah akad dengan tiga transaksi. Motif awalnya adalah akad pinjam meminjam atau hutang uang dan akad gadai. Guna bisa dimanfaatkan, objek gadai tersebut dibunyikan akad jual beli atau sewa menyewa dengan tenggang waktu. Pada waktu yang telah dijanjikan, hutang dikembalikan dan sekaligus objek gadai kembali pula dan seakan berlaku akad awal yaitu rahn karena ada hutang. Ini logika sebagian ulama (agamawan) termasuk Nasrun Haroen, sehingga masih terkesan bernuansa akad tabarru’. Oleh karena itu, dalam tulisan Nasrun Haroen akadnya berbunyi: “saya menjual sawah saya kepada engkau seharga Rp.10.000.000,00 selama dua tahun” (2000: 154).
Sedang Syaikh Abdurrahman ibn Muhammad al-Hadramiy tidak menyebutnya sebagai satu akad tiga transaksi. Beliau hanya menyebut akad pagang gadai (bai’al-‘uhdah) saja secara utuh sebagai satu akad khusus tanpa harus menyebut tenggang waktu karena sudah dianggap maklum oleh masyarakat. Proses kemakluman masyarakat inilah yang melatari kebolehan memanfaatkan barang gadai atau bahkan pagang gadai itu sendiri. Minimal ini yang dipegangi oleh al-Qaffal dan ditolak oleh Jumhur (Forum Kajian As-Ilah, tth. : 118). Dan ini sejalan dengan kaidah Ushul Fiqh bahwa mâ warada bihî asy-asyar’u mutlaqan walâ dhâbitha lahû fîhi walâ fil-lughati yurja’u fîhi ilâ al-‘urfi yang salah satu contohnya adalah bai’ al-mu’athah (sistem swalayan) yang diperbolehkan oleh an-Nawawi dan tidak diperbolehkan oleh Jumhur Syafii (Abdul Hamid Hakim, 1927: 61) . Lihat pula pada tema yang sama pada karya beliau, Mabâdî Awwaliyyah.
Di belahan dunia Islam yang lain sebenarnya juga banyak praktek pagang gadai dengan nama beragam. Bai’ al-‘Uhdah adalah praktek pagang gadai yang secara umum berlaku pada masyarakat Hadramaut Yaman. Sedang di Mekkah juga berlaku praktek serupa yang mereka sebut dengan Bai’ an-Nâs atau di tempat lain dengan nama Bai’al-‘Uddah wal-Amânah (Al-Saqaf, As-Sayyid Alwi ibn As-Sayyid Ahmad, tth.: 226) . Di Bukhara dan Balkh yang banyak bermazhab Hanafi biasa mempraktekannya dengan nama Bai’ al-Wafâ’ (Nasrun Haroen, 2000: 155). Di Jawa pada komunitas tertentu juga berlaku praktek ini yang mereka kenal dengan sebutan adhol sende (Lajnah Ta’lif Wan Nasyr NU, 2005: 29). Praktek tersebut kendati tidak ada dasar yang pasti dari Alquran dan Sunnah (akad ghairu musamma), namun kalangan ulama membolehkannya karena sudah menjadi kebiasaan umum dalam beberapa komunitas dan cukup memberikan kemudahan dan kemaslahatan bagi mereka sebagai wujud akad dan transaksi investasi (al-bai’). Oleh karena itu, orang Mekkah menyebut dengan nama Bai’ an-Nâs, pagang gadai yang sudah menjadi tradisi milik masyarakat (an-nâs) umum.
Di antara ulama yang membolehkan praktek ini adalah Imam Najmuddin an-Nasafi (461-573 H.) ulama terkemuka mazhab Hanafi di Bukhara yang mengatakan bahwa praktek ini dijalankan dalam rangka keluar dari riba. An-Nasafi terkesan sebagai pendukung kebolehan hîlah dalam hukum ini. Justifikasi kebolehan Hanafi tentang praktek ini adalah murni karena istihsân ‘urfiy, yaitu karena sudah sekian lama menjadi kebiasaan masyarakat (Nasrun Haroen, 2000: 155-156). Pandangan serupa juga disampaikan oleh Syaikh Abdurrahman ibn Muhammad al-Hadramiy dari kalangan mazhab Maliki di Hadramaut yang wafat pada 440 H. Menurut beliau, hukum asal apa yang kita kenal dengan jual beli tempo atau jual beli berjangka adalah sah. Menurutnya, jual beli itu tidak sah bila disyaratkan dalam akad harus dikembalikan lain waktu dan ini berlawanan dengan syarat umum jual beli yaitu dawâm wa istimrâr al-milki (munâqidhun limuqtadhayâtil-‘aqdi). Untuk itu, dalam jual beli tempo kesepakatan pengembalian tidak perlu dibunyikan dalam akad. Ulama hanya berbeda tentang apa hukum menepati janji itu ? Dan ternyata Imam Malik berpendapat wajib. Demikian juga Imam Taqiyuddin al-Subki dari kalangan Syafiiyyah (Forum Pembukuan Bahtsul Masail, 2005: 77). Dalam Perkembangannya, Praktek ini diterapkan untuk seluruh wilayah kekuasaan Turki Usmani melalui Majallatul-Ahkâm Al-Adliyyah yang berorientasi pada mazhab Hanafi. Lewat Al-Qânûn al-Madani as-Suri, bai’ al-wafâ’ juga diberlakukan di Syria, demikian juga di Mesir sebelum akhirnya keduanya menghapuskannya dari undang-undang mereka (Nasrun Haroen, 2000: 156-157). Di antara pendukung pandangan ini dari kalangan ulama kontemporer adalah Mustafa Ahmad Az-Zarqa dan Muhammad Abu Zahrah. Selain mereka, umumnya para ulama menolak praktek bisnis tersebut karena memandangnya sebagai riba, prakteknya munâqidhun limuqtadhayâtil-‘aqdi dan tidak menyetujui adanya hîlah dalam hukum. Imam asy-Syafii dikenal sebagai yang menolak praktek bisnis ini. Dalam pemikiran penulis, ada penetrasi pemikiran mazhab Hanafi ke Minangkabau yang sudah berlangsung sekian lama meski secara umum nusantara ini bermazhab Syafii.
Tapi, yang mesti menjadi perhatian kini adalah apakah nilai kemaslahatan pagang gadai masih dapat dirasakan oleh komunitas pemakainya? Di mana posisi sesungguhnya pemilik tanah di Minangkabau dalam konteks adat ? Apakah selama ini praktek pagang gadai sudah dilakukan sendiri oleh sang pemilik hakiki ? Apakah orang Minangkabau sudah memikirkan ekses pagang gadai terhadap identitas adat dan kesukuannya ? Apakah posisi penguasaan dan pemilikan tanah di Minangkabau tidak carut marut dengan adanya pagang gadai ? Berapa hektar tanah yang belum kembali ke pemiliknya karena tidak bisa ditebus ulang hingga ke masa anak keturunannya ? Bagaimana proses pencatatan akad selama ini ? Bukankah gadai itu diberlakukan di saat tidak ada pihak yang bisa ditunjuk untuk mencatatnya ? Berapa banyak lagi kasus tanah yang harus diselesaikan di Pengadilan ?
Makalah ini memang hanya menyisakan banyak pertanyaan yang harus dijawab sendiri oleh komunitasnya. Dan pertanyaan itu pada dasarnya adalah jawaban penulis atas berbagai persoalan pagang gadai di Minangkabau yang teramati selama ini. Jika pernyataan dalam pertanyaan itu benar, maka praktik ini sesungguhnya telah keluar dari koridor pagang gadai yang dipandang boleh oleh para ulama. Artinya, pagang gadai tetap sah sejauh persoalan dalam pertanyaan tersebut mampu diselesaikan sendiri oleh para pelakunya di ranah Minang ini. Dan bila ini bisa diselesaikan, tidak tertutup kemungkinan fiqh dengan identitas lokal bisa diwujudkan di sini. Atau pergeseran yang tengah terjadi dalam hal tanah dan hal-hal yang terkait dengannya memang sudah saling disetujui dan bisa dijadikan kesepakatan baru sehingga diperlukan fiqh sosial baru pula ?
Dalam konteks kekinian, digelarnya berbagai diskusi tentang ini pada dasarnya merupakan wujud kepedulian semua pihak untuk tidak terjebak dalam riba (pagang gadai) yang merupakan dosa besar. Hal ini perlu diberikan apresiasi positif tanpa harus mengurangi kekritisan berpikir. Namun, yang penting diingatkan dalam praktek pagang gadai adalah, sejauh masih menggunakan nama pagang gadai yang merupakan adopsi langsung kata rihân maqbûdhah, maka sudah sesuai dengan petunjuk syara’ secara kebahasaan. Tapi, ketika maunya ini (bai’ al-‘uhdah, bai’ an-nâs, bai’ al-‘uddah wal-amânah, atau adhol sende) dengan tetap menggunakan bahasa dan ungkapan itu (pagang gadai), ini baru tema aktual yang layak diperbincangkan dalam masalah akad muamalah menurut fiqh. Tapi, ternyata Imam Malik, Ibnu Taimiyyah, Al-Kasani, Ibnu Qayyim membolehkan ungkapan yang sedemikian sejauh bisa saling dipahami maksud dan maunya oleh komunitas pelakunya. Bahasa fiqh yang mereka gunakan adalah: “Jawâzu in’iqâdi al-‘aqdi bikulli lafdzin ta’awwadan-nâsu in’iqâda al-‘aqdi bihi” (Abdul Hamid Mahmud al-Ba’liy, tth.: 95)
Dan sebenarnya, seperti yang sudah diurai sebelumnya, kepedulian yang sama sudah dilakukan oleh ulama-ulama terdahulu dan mereka telah menetapkan pilihannya tanpa mengintervensi pilihan orang lain. Dan harapannya, forum ini adalah benar-benar untuk memastikan pilihan masing-masing atau bersama yang akan segera diambil, bukan untuk menteror pilihan orang lain. Ya, masing-masing sudah memiliki dasar dan kerangka berpikirnya. Jawab saja terlebih dahulu pertanyaan-pertanyaan penulis di atas baru kita bangun lagi diskusi terbaru yang lebih mutakhir. Karena pertanyaan-pertanyaan tersebut penulis anggap sebagai yang akan bersentuhan langsung dengan sendi-sendi kemanusiaan dan kemaslahatan yang menjadi tujuan syara’ itu sendiri. Artinya, agar pelaksanaan pagang gadai kini tetap berjalan sesuai syara’, maka hal-hal madharat, sengketa, pelanggaran, dan keluarnya pagang gadai dari konsep awal yang syar’i di Minangkabau harus diminimalisir tanpa harus mengaitkan pelarangannya pada alasan riba dalam pemanfaatannya atau menganggapnya sebagai hîlah belaka. Contoh konsep awal pagang gadai di Minangkabau yang sesuai syara’ adalah pengambil manfaat awal adalah pemilik barang gadai meski pemegang gadai juga berpeluang untuk itu setelah ada izin dari pemilik (Lihat, Monografi Hukum Adat Daerah Sumbar, 1993, 577-578).
Bukan tidak ada maksud nenek moyang orang Minangkabau untuk melarang adanya bisnis jual beli tanah atau bahkan pagang gadai. Semua dilakukan dalam rangka memelihara eksistensi mereka dan keberlangsungan generasi keturunannya. Tanah adalah identitas simbolik yang unik dalam adat Minangkabau. Ketika konsep pertanahan awal ini hilang, maka akan hilang pula identitas lokal Minangkabau yang sebenarnya bisa membawa rasa percaya diri dan wibawa kesukuan para penghuninya. Banyak anggapan bahwa pagang gadai kini banyak mendatangkan madharat tersendiri bagi orisinalitas adat masyarakat dan suku Minangkabau. Meski demikian, pada sisi yang lain, sikap filantropis suku ini dalam bidang tanah juga bisa dilihat wujudnya, yaitu dalam bentuk numpang karang atau hibah bagi para pendatang atau yang tidak memiliki tempat tinggal. Nampaknya, yang terakhir ini telah sejalan dengan konsep bahwa tidak ada kepemilikan mutlak atas tanah secara individual karena tanah akan sulit atau tidak mungkin dikembangkan. Dalam pemikiran fiqh, tanah seperti uang, tidak diperkenankan adanya perolehan nilai tambah kecuali melalui pengolahan langsung, bukan dengan jalan dihutangkan, disewakan, atau dibagihasilkan karena ia merupakan alat produksi yang cukup vital. Wahbah az-Zuhaili (1989: 630-631) menjelaskan bahwa Hanafiyah dan Zufar tidak membolehkan adanya berbagai bentuk kerjasama dalam pertanian seperti muzâra’ah dan musâqah berdasarkan pada hadis Nabi saw. Tanah adalah alat produksi pada masyarakat bisnis agraris, sedangkan uang adalah alat produksi masyarakat bisnis industrialis. Tanah dan uang haruslah dikelola dan difungsikan terus menerus, tidak boleh ditumpuk. Keharusan ini tidaklah akan berjalan dengan baik kecuali pemilik yang tidak bisa menjalankan fungsinya dengan baik selalu memberikan kesempatan selebar-lebarnya kepada orang lain untuk memfungsikan tanahnya tanpa meminta bagian, apalagi bayaran (Masdar F. Mas’udi, 1993: 167-174). Mana yang hendak dituju, kembali ke orisinalitas konsep orang Minangkabau awal atau mengakui dan sekaligus mengikuti trend bergeseran yang tengah terjadi ? Penulis rasa, fiqh telah memberikan penawaran yang cukup ideal untuk masing-masingnya bukan ?

E. PENUTUP
Demikian tulisan ini disampaikan dalam rangka memperoleh jalan terang tentang pagang gadai dalam perspektif fiqh. Nampaknya, penulis berkecenderungan bahwa dalam konteks kini, pagang gadai tetap sah sejauh ada ketegasan motif akadnya antara akad tabarru atau akad investasi. Hal ini jelas akan sulit dipisahkan dan didudukkan mengingat sistem tanah di Minangkabau adalah milik komunal, bukan milik individual. Bisa jadi, ini adalah akad yang unik dan tinggal satu-satunya di dunia ini. Terlepas dari itu semua, pada keduanya, objek gadai berpeluang untuk dimanfaatkan baik oleh pemilik maupun penggadai. Alasan penolakan pemanfaatan barang gadai karena dianggap riba sulit diterima logika mengingat kehadiran dalil riba jauh di akhir-akhir tahun kenabian, sedang dalil gadai telah hadir lebih dahulu dibanding dalil riba, yaitu pada awal hijriyyah dan membolekan pemanfaatannya.
Semoga ini menjadi salah satu tulisan yang akan diiringi oleh tulisan-tulisan lain guna mendudukkan secara cermat apa, mengapa, dan hendak ke mana pagang gadai ini diarahkan sesuai proporsi yang sebenarnya.

Batusangkar, 27 Desember 2007
Iza H. ‘D2n


Tidak ada komentar: